Malam jatuh beringsut pagi. Sesekali gemericik wudhu memecah sepi. Malam itu kota serasa mati, namun begitu hidup oleh dzikir, tilawah dan qiyamullail. Di suatu masjid, pada sebuah sunnah i’tikaf, tangan-tangan para salafush shalih terangkat dalam munajat. Isak terdengar sayup menyayat karena jiwa mereka redam mengingat kengerian akhirat. Wajah-wajah tenggelam dalam lelah. Mata basah, pertanda jiwa dirundung gelisah. Ya, gelisah apakah amalan sepanjang Ramadhannya berbuah pahala atau justru menjadi bulan yang penuh lelah dan dahaga yang sia-sia. Dan ketika rembulan semakin menyabit, tangisan mereka pun makin melangit. Begitulah gambaran kegelisahan para salafush shalih atas amal-amal yang tidak diterima, seperti dikatakan Abdul Aziz bin Abi Rowwad.
Lalu bandingkan malam mereka dengan malam-malam kita….
***
Saudaraku, Ramadhan adalah bulan ketika pintu surga dibuka selapang-lapangnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Bulan ketika nafas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibanding harumnya kesturi. Bulan ketika tiap detiknya ibarat untaian berlian, sehingga amat merugilah seseorang yang menyia-nyiakannya tanpa amalan.
Bagi orang-orang beriman, Ramadhan adalah saat ketika peribadatan berada di puncak kenikmatan. Karena ketika itu satu kebaikan dibalas berlipat-lipat bahkan tanpa batasan. Inilah sebenar-benar waktu yang penuh dengan keberkahan.
“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakam pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu...” (HR. Ahmad)
Tetapi semua keutamaan itu tak lagi bisa dinikmati ketika Ramadhan beranjak pergi. Di sisi lain tak satu pun makhluk yang dapat menjamin apakah usia seseorang akan sampai hingga setahun lagi dan bersua dengan keutamaan Ramadhan kembali. Maka pantaslah orang-orang shalih terdahulu selalu menangis dalam getir saat Ramadhan akan berakhir.
Ramadhan adalah bulan pengampunan. Seyogyanya melalui berbagai ibadah di bulan ini, akan menjadikan deposit dosa kita terkuras tanpa sisa. Jika seseorang telah bersama Ramadhan tetapi dosa masih teronggok tak terampunkan, sungguh ia adalah secelaka-celakanya manusia. Sabda Rasulullah, "Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni." (HR. Hakim dan Thabrani).
Di lain pihak, kita juga tak bisa menjamin bahwa kita termasuk golongan manusia-manusia terampuni. Dan inilah yang menggelisahkan jiwa orang-orang shalih. Rasa khaufnya menggelegak. Takut termasuk di antara orang yang celaka karena tidak memperoleh kucuran ampunanNya. Maka mereka pun menangis, sambil melangitkan munajat agar amal-amalnya diterima. Mari kita dengar ucapan mereka, orang-orang shalih ini.
Malik Bin Diinar, tokoh kalangan tabiin berkata, “Tidak diterimanya amalan lebih kukhawatirkan daripada (bagaimana caranya untuk bisa) banyak beramal.” Sedangkan Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya.”
Maka jika kita merenungi kembali apa yang dilakukan para salafush shalih di akhir Ramadhan, niscaya kita akan mengetahui jauhnya jarak antara kita dan mereka. Betapa kualitas ibadah mereka semakin meningkat, tilawahnya semakin giat, sujudnya semakin kuat dan i’tikafnya makin semangat. Mereka benar-benar serius mengamalkan sunnah nabinya. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)
Lalu bagaimana dengan kita?
Apakah hadits ini juga menjadi inspirasi bagi ibadah-ibadah kita? Dan apakah kecemasan yang sama juga hadir menyergap jiwa kala Ramadhan mulai meninggalkan kita?
Kita sungguh pantas khawatir, jangan sampai di saat Allah obral pahala, malaikat justru mendapati kita di tengah program obral midnite sale. Kita pantas malu, di saat Allah merindukan insan-insan yang melebur diri dalam sunnah i’tikaf, kita justru “i’tikaf” di kegelapan gedung bioskop menyaksikan premier film-film untuk menyambut lebaran. Sungguh itu tidak diajarkan Rasulullah dan bukan kebiasaan generasi terbaik, para salafush shalih.
Saudaraku, Bulan Ramadhan adalah bulan ketika setan-setan dibelenggu, sehingga melakukan ibadah pun terasa ringan (seperti tak ada yang mengganggu). Maka selepas Ramadhan pertahankan ibadah-ibadah itu. Dalam ilmu fisika dikenal hukum inersia atau kelembaman. Benda yang diam akan bergerak jika diberi gaya. Sebaliknya benda yang sudah bergerak juga akan tetap bergerak jika tidak ada gangguan (gaya) yang mengenainya. Begitu pula manusia.
Untuk yang di bulan Ramadhan ini biasa “bergerak” melakukan sunnah Tarawih, pertahankan sujud-sujud malam itu. Bagi yang di bulan Ramadhan ini sedang “bergerak” berhijrah mengenakan hijab, istiqomahkan perubahan itu. Bagi yang di bulan Ramadhan biasa “menggerakkan” lisan dengan tilawah Al Qur’an, lanjutkan amalan itu. Bagi yang sukses melakukan breaktrough terkena “gaya” Ramadhan dengan mendobrak kebiasaan dari tak pernah ke masjid menjadi pengunjung setianya, tingkatkan frekwensinya. Jangan hanya Maghrib dan Isya’ saja.
Bagi yang di Bulan Ramadhan sukses menahan lisannya dari berbicara yang sia-sia, terus latih kebiasaan itu. Sungguh jika Ramadhan berlalu, tak ada alasan untuk kembali pada keburukan di masa lalu. Saudaraku, tetap berlarilah mengejar kebaikan-kebaikan di Bulan Ramadhan itu.
Di akhir tulisan ini mari bersama kita resapi pesan Ibnu Rajab Al Hambali ketika Ramadhan akan berlalu. “Wahai hamba Allah, bulan Ramadhan telah bersiap-siap untuk berangkat. Tidak ada lagi yang tersisa kecuali saat-saat yang singkat. Barangsiapa yang telah melakukan kebaikan selama ini, hendaklah ia menyempurnakannya. Tetapi barangsiapa yang justru sebaliknya, hendaklah ia memperbaikinya di waktu yang masih tersisa. Karena ingatlah, amalan itu dinilai dari akhirnya."
Manfaatkanlah malam-malam dan hari-hari Ramadhan yang masih ada, serta titipkanlah amalan sholih yang dapat memberi kesaksian kepadamu, nantinya di hadapan Al Malikul ‘Alam (Sang Penguasa Hari Pembalasan).
Lepaskanlah kepergiannya dengan salam terbaik, “Salam dari Ar-Rahman (Allah) pada setiap zaman. Atas sebaik-baik bulan yang hendak berlalu. Sungguh ia adalah bulan yang penuh rasa aman dari Ar-Rahman. Jika hari-hari berlalu tak terasakan. Sungguh kesedihan hati untuk itu, tak akan pernah hilang.”
Wallahu a’lam bishawab