Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung Pilihan

Sagu di Rumah Sultan

9 Juli 2023   08:32 Diperbarui: 9 Juli 2023   08:37 174 2
Setelah sampai tujuan, aku pun turun. Begitu juga dengan Baba Yusuf dan anaknya. Selasar luas yang berada persis di pinggir jalan sudah penuh dengan mobil-mobil mewah para tamu. Aku melihat mereka keluar dari kenderaan yang mengkilap itu. Saat yang bersamaan, aku masuk setelah berjalan sedikit dari tempat parkir.

Tidak jauh beda dengan rumah Baba Fahad tadi. Tamannya asri penuh dengan pohon kurma yang sedang berbuah. Hanya saja aku melihat di lahan yang luas ini ada dua bangunan rumah mewah. Tidak tahu punya siapa. Apakah milik Baba Badr atau anaknya? Tanpa mengganggap itu penting, aku bersama tamu lainnya diarahkan ke salah satu bangunan yang paling mewah bak istana. Tidak kalah mewahnya dengan rumah Baba Fahad. "Ayok ke sini." Baba Badr mengiringi langkah kami menuju ruang tamu.

Aku merasa seolah berada di hotel bintang lima. Sofanya yang terlihat empuk membuatku lekas duduk. Ingin merasakan sensasinya. Setiap dinding tampak mengkilap. Cermin yang menempel di sebelah kanan, membuat ruangan ini tampak lebih luas. Meski demikian, karena tetamunya banyak, akhirnya ada yang di sini. Sebagian lagi di ruang sebelah. Aku tidak tahu ruangannya seperti apa.

Tidak selama menunggu di rumah Baba Fahad. Begitu sampai, makanan berat pun mulai disuguhkan. Kali ini nasi briyani dengan ikan. Selain itu, aku melihat ada beberapa makanan yang ditaruh di dalam piring. Akan tetapi, tidak tahu namanya apa. Sebab aku belum pernah melihat makanan yang seperti itu. 'Kayaknya enak, ya?' batinku. Aku sudah tidak sabar melahapnya.

"Ayok kita mulai makan lagi, Mutawwa'," ajak Baba Yusuf lagi. Aku yang duduk bersebelahan dengannya mengangguk tanpa berucap. Dia pun berdiri kemudian mengambil posisi di sampingku. Meski banyak orang di sini, tetapi aku tidak tahu Baba Yusuf terus yang ada di sampingku. Apakah itu sebuah kebetulan? Aku tidak tahu.

Tanpa basa-basi, kami pun mulai menyantap makanan yang ada di atas nampan. Namun, karena posisiku agak sedikit jauh dari nampan, Baba Yusuf berkata, "Mendekat lagi, Mutawwa'." Aku pun bergeser sedikit ke kiri agar lebih dekat ke wadah nasi. Kami bertiga sama satu lagi namanya Baba Khalid. Dia juga jemaahku yang lumayan asyik karena ingin diajak bicara.

Piring yang berisi makanan warna sedikit kecoklatan itu diambil Baba Khalid. "Ini enak, loh," ucapnya sembari menyendok. Ia pun menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Aku yang melihat dia, tidak tahu rasanya seperti apa. Sebab penasaran, aku pun mencolek sedikit. Setelah kucoba, rasanya bagiku aneh. Asem sama ada sedikit rasa yang tidak bisa kujelaskan namanya. Aku mau muntah, tetapi berhasil kutahan demi menjaga perasaan.

Sementara itu, Baba Yusuf menggeser piring yang berisi makanan yang ada di sebelah kananku. "Cobain ini, Mutawwa'," katanya padaku. "Kamu tahu itu namanya apa?" Aku menggelengkan kepala. "Ini namanya sagu." Mendengar itu aku sedikit terperangah. Kok bisa ya ada di negeri sultan ini makanan khas Papua? batinku sembari mencicipinya. Aku penasaran bagaimana rasanya. Soalnya, seumur hidup aku belum pernah makan sagu karena tidak terlintas dalam pikiran untuk mencobanya.

"Enak, Baba. Cobain, Baba pasti suka," tawarku ke Baba Yusuf. Meskipun tadi ada di dekatnya dan menawarkan padaku, tetapi dia sendiri belum menyentuhnya sama sekali. Aku juga melihat dia lebih menikmati nasi yang tersedia di dalam nampan.

Wajahnya ragu seolah tidak percaya apa yang kuucapkan. Namun, karena sagu sudah kudekatkan dia pun mencobanya. "Hmmm, iya, enak." Dia mengacungkan jempolnya. Aku pun tersenyum melihatnya senang. "Kalau gak salah ini banyak di negaramu?" Dia tampak ragu-ragu, sambil mengunyah.

Aku yang sedang menikmati sagu berkata, "Iya Baba. Banyak di Indonesia, tapi aku sendiri belum pernah rasakan," ucapku malu. "Karena ini memang makanan khas Papua," tambahku. Tampaknya Baba Yusuf paham kalau alasanku logik kenapa aku belum pernah makan sagu. Ia tahu kalau Indonesia negaranya luas dan aku pernah cerita kalau aku tinggal di Jakarta.

Suap demi suap alhasil makan pun selesai. Bukan karena makanannya habis, melainkan perut kami yang membuat berhenti. Sebab sudah terasa kenyang. Aku pun berdiri lalu melangkah ke belakang untuk mencuci tangan. Dari wastafel aku melihat toiletnya yang bersih dan mengkilap. Semua dinding dan lantai dilapisi dengan granit kualitas terbaik. "Ayok, Mutawwa'!" suruh salah seorang tamu memecah lamunanku.

Sejak mengantri, aku terpesona melihat interior dan desainnya yang indah. Sehingga muncul angan dalam pikiran, kapan aku bisa memiliki rumah seperti ini? Mendengar suara ajakan tadi, aku pun maju ke depan untuk segera mencuci tangan dan mulut. Tidak berapa lama setelah itu aku kembali ke ruangan tengah. Sambil menunggu keluar, aku juga menikmati kebersihan dan keindahan seisi rumah.

Beberapa meter dari tempatku duduk, aku melihat Baba Yusuf hendak keluar, tetapi sebelum sampai di pintu, dia menoleh aku. "Mutawwa, ayok kita pergi!" ajaknya sembari melambaikan tangannya.

Aku pun lekas berdiri dan melangkah. "Kita mau ke mana lagi?" tanyaku memastikan. Aku kira undangan ini adalah undangan terakhir.

"Kita mau pergi ke satu rumah lagi," sahutnya sambil terus melangkah. Aku yang berada di belakang, mengejarnya. "Waduh, kenapa numpuk tiga rumah sekaligus dalam satu waktu? Apa gak bisa besok? Atau kapan -kapan, kek? Jadi mubazzir terus, kan?" tanyaku protes sambil terus melangkah ke mobil. Sejak dari rumah pertama dan kedua tadi, selalu mubazir. Makanan yang dihidangkan tidak habis. Yah, apa namanya kalau tidak mubazir?

Baba Yusuf menghela napas dengan perlahan. "Aku juga gak tahu. Iya mubazir sih, tapi mau gimana lagi?" Dia pun bingung mau jawab apa. Apakah undangan tersebut disetting dalam satu hari atau kebetulan saja? Aku juga tidak tahu.

Di sela-sela obrolan tadi, tetamu yang lain menuju mobil masing-masing sama dengan kami. Namun, sebelum sampai di mobil, Ahmad anaknya Baba Yusuf, menaikkan guthrahku ke atas iqal  agar aku tidak kepanasan. Aku pun diam saat dia merapikan guthrahku sehingga enak dipandang mata.

 Barulah kurasa nyaman di selasar ini. Soalnya, kalau sudutnya guthrah tidak dilipatkan ke iqal seperti para tetamu yang lain, Ahmad dan Muhammad misalnya, bisa membuat kepala panas terus menjalar ke leher karena ruang udara tertutup. Sementara cuaca di luar pagi ini aku perkirakan sampai 39 derajat celcius saking panasnya. Itu juga akan bertambah kala mentari terus melintangi cakrawala Ra'sul Khaimah.

Setelah naik mobil, kami pun melaju meninggalkan rumah Baba Badr yang indah bak istana itu. Aku tidak tahu arahnya ke mana karena masih baru di sini. Sebelum sampai ke tujuan, aku penasaran pada suku Baba Yusuf dan tetamu lainnya. "Baba, suku kalian apa?" tanyaku menoleh ke depan. Di sebelah kirinya ada Muhammad yang menyopiri kami.

"Shihhy. Kamu tahu itu?"

"Iya, aku sering dengar." Aku diam. Akan tetapi, aku masih penasaran dari mana asal suku itu.

"Dari mana asal Sihhy, Baba? Apakah mereka dari Ojman dan Fujairah?" Aku menanyakan itu, karena aku dengar-dengar mereka berasal dari dua Emir tersebut. Aku mengira karena penduduknya padat makanya mereka datang ke
Ra'sul Khaimah, daerah tempatku tugas.

"Bukan. Asal muasal suku Sihhy berasal dari pegunungan Syuhhuh yang bersambung hingga ke lembah Al-'Ur," jelas Baba Yusuf terus ia diam.

Suku ini sangat terkenal sekali karena Kepala Auqaf juga berasal dari suku Syihhy.

"Oh, yang menarik satu lagi adalah dinamakan Syihhi karena pada saat Khalifah Abu Bakar mereka pelit, tidak ingin mengeluarkan zakat," tambahnya kemudian.

Aku yang kurang puas mendengar penjelasannya itu, langsung aku rogoh ponsel untuk mencari tahu informasi tentang asal suku tersebut secara lengkap. Aku ketik di Google apa yang ingin kucari. Tidak menunggu lama, yang kuinginkan pun tertera dengan lengkap di Wikipedia. Mulai dari letak geografis, keturunan, dialeg, hingga pada para syekh yang berasal dari suku tersebut.

Aku yang sedang asyik membaca, tiba-tiba kami pun tiba di tujuan. 'Ayok turun, Mutawwa'! Kita sudah sampai," ajak Baba Yusuf.

Tanpa menyahut, aku pun lekas turun sambil berharap apa yang kubaca tadi, suatu saat bisa kutuliskan ke dalam sebuah buku yang bercerita tentang ke Emiratan.

Dari tempat parkir yang terletak di depan pagar, kami melangkah ke dalam. Bagaimana ya rumahnya? Mana lebih megah ketimbang kedua rumah yang sebelumnya? batinku bertanya-tanya sembari berjalan bersama tetamu lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun