Saat ini publik Indonesia lagi galau. Kita sedang bingung. Kita mungkin bingung untuk mencari solusinya, yaitu bagaimana mengurai benang kusut dan carut marut perseteruan KPK dan Polri. Tapi ternyata lebih parah lagi, kita juga bingung menjelaskan apa sih yang sedang terjadi. Dari tampak luar, semuanya seolah-olah benar dan sekaligus salah. Semua mengklaim bahwa perbuatannya beralaskan normatif hukum. Berbagai jargon muncul, seperti “gunakan hati nurani, selamatkan KPK, lawan koruptor” dan seterusnya. Dari pihak sana muncul pula jargon “mari kita kembali ke UU, KPK/Polri memiliki wewenang, ada dua alat bukti” dan sederetan jargon lainnya. Semua jargon ini enak didengar tapi kok tidak bermanfaat dan malah benangnya tetap kusut.
Dari sisi hukum mungkin nggak sulit-sulit bangat menjelaskan kubu-kubu apa yang sedang bertarung, namun ini jarang dikuak ke publik karena para petarung sedang asyik dengan pertarungannya sehingga lupa bendera apa yang sedang diusungnya. Habitat hukum mengenal dua kubu yang secara historis terus bergelut. Pertama, aliran hukum alam (natural law), kedua yang menganut positivisme hukum. Keduanya saling menegasikan karena yang satu adalah anti-these terhadap yang lain. Dalam menyikapi setiap persoalan hukum, dua ‘agama” ini akan mengaliri pola pikir lawyer dan pengikutnya yang berpretensi berfikir seperti lawyer. Benturan kedua pola pikiran ini akan melahirkan pola pikir ketiga yang mencoba menyeimbangkan dan mencari jalan tengah terhadap dua pihak yang bergulat ini. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa dua pengacara berdiskusi selalu muncul tiga pendapat.