Di sebuah desa terpencil, sekelompok mahasiswa yang sedang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) menyelenggarakan penyuluhan tentang wawasan kebangsaan. Warga desa memang tidak asing lagi dengan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Cuma saja, karena sepanjang hari harus mengolah sawah dan ladang, mereka tak sempat lagi mengafal bunyi kalimat masing-masing sila Pancasila. Maka, penyuluhan ini diharapkan dapat mengembalikan ingatan mereka tentang jumlah sila Pancasila, berikut bunyi kalimat masing-masing sila.
Penyuluhan diadakan malam hari, bertempat di Balai Desa, tak jauh dari posko KKN. Karmin, mahasiswa fakultas Hukum terpilih sebagai instruktur yang pertama kali tampil. Kunti, perempuan beranak tiga yang konon tidak tamat Sekolah Dasar adalah salah satu peserta yang amat bersemangat mendengar penjelasan Karmin tentang jumlah sila dalam pancasila, berikut bunyi kalimat masing-masing sila. Berulang-ulang Karmin membacakannya dengan suara lantang. Agar jelas kedengarannya dan mudah dihafalkan.
“Agar tidak terasa berat, hafalkan 1 sila untuk 1 hari! Jadi, dalam 5 hari semuanya sudah tersimpan di kepala…”
“Bisa ibu-ibu?”
“Bisa…………..!”
“Benar ibu-ibu?”
“Benar…………!”
****
Lima hari setelah pertemuan pertama, Karmin, mahasiswa kerempeng berkacamata minus itu kembali tampil. Kali ini, Kunti memilih duduk di kursi paling depan. Sebelum uraikan materi baru, terlebih dulu Karmin hendak menguji sejauhmana pemahaman dan daya ingat para peserta pada materi sebelumnya, yakni tentang jumlah sila dalam Pancasila.
“Bu Kunti! Ada berapa sila dalam Pancasila?”
“Tujuh pak!” jawab Kunti, bersemangat.
“Berapa bu?” tanya Karmin lagi,
“Tujuh!”
“Ibu Kunti datang pada penyuluhan pekan lalu?”
“Datang pak! Saya duduk paling belakang. Mungkin bapak tidak melihat saya” jelas Kunti,
“Tapi, kenapa ibu jawab ; tujuh?”
“Berarti ibu tidak menyimak penjelasan saya”
“Masa’ sila pancasila ada tujuh?”
“Jangan-jangan ibu Kunti tidur saat saya menjelaskan tentang jumlah sila Pancasila”
“Kalau ibu masih mau ikut kelas ini, mestinya menyimak! Jangan tidur!”
“Percuma saja saya tegaskan berulang-ulang”
“Jika bu Kunti tidak menyimak, lebih baik keluar dari kelas ini!”
Suasana kelas itu tiba-tiba berubah tegang setelah Karmin marah-marah. Ia amat kesal mendengar jawaban spontan Kunti yang sembrono itu.
****
Sesampai di rumah, Kunti menceritakan kejadian yang dialaminya di Balai Desa pada Kunto, suaminya.
“Aku baru saja dimarahi-marahi mahasiswa KKN kang!”
“Kenapa marah-marah? Kau buat kesalahan?” tanya Kunto, heran.
“Dia tanya ; berapa jumlah sila Pancasila, kujawab tujuh. E, malah mencak-mencak. Malu aku kang!”
“O, alah Kunti, Kunti! Kamu bilang sila Pancasila tujuh, tentu saja kamu dimarahi. Mestinya kamu jawab ; lima”
“Ah, kang Kunto ini bagaimana toh? Dijawab tujuh saja sudah marah-marah, apalagi dijawab lima…”
Kelapa Dua, 2006