Fiqh mengajarkan kepada peserta didiknya, pertama itu adalah soal thaharah atau bersuci dari hadas dan najis. Semua yang menyangkut dengan kesucian diri, alat untuk menyucikan, sampai kepada tatacara bersuci itu sendiri diajarkan kepada anak yang baru masuk pesantren.
Tak mudah memang. Untuk satu perkara ini memakan waktu yang cukup panjang. Dengan konsep demikian, setelah santri itu beranjak remaja, dia dengan sendirinya mengamalkan kajian yang sudah didapatkannya selama mendalami ilmu bersuci tersebut.
Dia akan selalu berhati-hati dan telaten dalam melakukan perkara bersuci. Dia tahu, kalau kencing tak bersuci karena ketiadaan air, ada solusi lainnya yang membuat dia tetap suci dari najis yang baru keluar.
Begitu juga ketika bagian tubuhnya tersentuh oleh binatang yang namanya anjing dan babi, dia tahu harus disucikan dengan membasuh tujuh kali berturut-turut, satu kali dari yang tujuh itu harus dibasuh pakai tanah.
Teori, memang itu teorinya. Tetapi belajar di pesantren berbasis surau ada prakteknya sekalian. Tentu sangat beda hal dengan belajar di sekolah dan bangku pendidikan formal lainnya, yang banyak berteori, dan tidak ada praktek sama sekali.
Di pesantren langsung praktek. Misalnya, masuk waktu shalat, para santri bergegas ke tempat berwuduk. Ya, mengambil wuduk sekalian bersuci, karena menjelang shalat wajib hukumnya bersuci.
Kadang-kadang, santri baru ini selalu dalam pantauan santri senior ketika melakukan wuduk tersebut. Maklum, mereka baru yang sama sekali tak ada pondasi dasar sebelum masuk pesantren.
Gurunya, atau santri senior dengan telaten menunjukkan kalau cara yang dilakukan santri baru itu salah, dan harus diperbaiki, sesuai kajian fiqh yang baru saja dipelajarinya.
Matan Taqrib nama kajian fiqhnya, mengikuti cara Imam Syafi'i, salah satu imam yang empat yang diakui kajiannya di seluruh dunia pesantren, dan termasuk Mazhab terbesar dalam ikutan amaliah umat Islam di Indonesia.
Teori amat ampuh dilakukan oleh pesantren, dan terbukti mampu membendung para santrinya dari berbagai tindak kejahatan. Nyaris 24 jam yang berlaku, semuanya terisi dengan kegiatan positif di pesantren.
Memang ada sih waktu untuk bermain, tetapi presentasenya amat kecil. Itu pun dilakukan rentang sehabis Asar jelang Magrib. Lalu malam mengaji lagi dengan guru di asrama. Pagi sampai siang belajar di kelas, dengan guru kelas tentunya.
Bayangkan, pola yang dilakukan pesantren itu cukup kuat untuk menanamkan nilai-nilai moral dan akhlakul karimah para santri, yang langsung guru dan pimpinan pesantren memulainya.
Guru pesantren memberikan keteladanan. Biasanya dia jarang ngomong. Hanya memberikan keteladanan dengan karakternya sendiri, yang tidak dibuat-buat tentunya.
Asli tampilan gurunya, sesuai pergumulannya dengan sekian lama bergelud dengan anak-anak dan kitab.
Lalu, setelah perkara bersuci selesai dipelajari pada tahun pertama, masuk soal ibadah pada tahun berikutnya. Semua ibadah yang wajib dan yang sunnah dipelajari dengan tuntas dan apik sekali.
Sama dengan perkara bersuci tadi, dalam bab ibadah juga di samping teori melalui pembacaan kitab fiqh, juga ada prakteknya sekalian. Tak heran, di Pesantren Madrasatul 'Ulum tempat saya belajar dulunya, shalat berjemaah itu wajib hukumnya bagi santri.
Bagi yang melanggar ada sanksi dari santri senior. Termasuk yang senior melanggar juga ada sanksi yang diberikan. Sampai kepada yang membangunkan santri pagi-pagi jelang Subuh masuk, ada santri yang piket secara bergiliran.
Perkara kajian ibadah ini amat panjang. Sampai memakan waktu yang cukup lama mendalaminya. Semuanya saling terkait dengan kematangan jiwa dan diri santri itu sendiri.
Mulai dari ibadah shalat, puasa, zakat, naik haji, serta munakahat tentunya ketika telah memasuki dewasa. Semua dibahas tuntas dan panjang waktunya.
Munakahat, alias pelajaran fiqh orang dewasa. Bahasa sekarang di sinilah para santri itu diberikan pelajaran seksual. Perkara halal dan haram dalam suasana pernikahan.
Tak ada praktek munakahat, selain dari langsung menunaikan ijab kabul setelah datang dan tiba waktunya. Yang dipelajari dalam fiqh soal munakahat itu adalah soal wali nikah, orang yang boleh dinikahi, sampai kepada larangan berhubungan pada saat istri sedang haid.
Para pelajar di pesantren, selalu dipisahkan antara santri dengan santriwati. Kecuali setelah sama-sama dewasa, dan mereka pun telah jadi guru di pesantren itu baru ada penggabungan kelas.
Meskipun duduk bersila, tetap saja mereka menamakan kelas. Sebab, mereka duduk berkelompok, mengeliling guru yang mengajar.
Cara ini agaknya penting ditularkan kepada anak-anak kita dalam mendidik soal pelajaran seksual. Berjenjang naik bertangga turun. Diberikan kepada anak sesuai umur dan tingkat nalarnya.
Tak bisa sembarangan. Sebab, perkara seksual amat sensitif. Dan mengundang banyak hal terhadap tangkapan para santri tersebut.