Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ketika Aku Bertanya Cinta??

10 Oktober 2012   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57 950 4
Dan inilah kehidupan, malam-malam berlalu dengan sepi, menjemput pagi yang terisi torehan sinar sang mentari. Siang hadir tawarkan segenggam asa, untuk meraih senja terbalut kabut asmara. Adakah rindu yang masih tersimpan? Atau hanya kegelisahan dalam kesunyian? Entahlah! hati ini hanya bisa berbisik dalam sedih.

“Apa yang sedang kau pikirkan? tanya hatiku.

“Menunggu kenyataaan penyejuk kalbu,” jawabku.

“Kenyataan apa yang kau tunggu?”

“Apa pedulimu bertanya itu kepadaku?”

Hatiku terdiam, seakan menyesali apa yang telah dia lakukan. Begitu juga aku, tubuh ini terbaring lesu, menatap hampa langit-langit ruang batin. Malam kian larut dalam kesedihan, menemani aku yang masih sendiri dalam ketidakpastian. Suara angin terdengar merdu, memainkan irama musik mendung kelabu. Tiada nyanyian, atau rangkaian syair-syair lagu. Hanya gelombang hasrat yang semakin menderu, menghantam dinding-dinding kosong ruang sukmaku. Tarikan nafasku berjalan pelan, seiring aku ajukan pertanyaan.

“Wahai pikiran, dari mana datangnya cinta?

“Dari mata turun kehati.”

“Aku tidak percaya?”

“Tanyakan sendiri padanya!”

Aku terkejut, tubuhku kaku dan mulutku terasa kelu. Apakah dirinya marah padaku, ketika aku bertanya itu. Atau dirinya tidak senang, karena aku tiada percaya dengan apa yang dia ungkapkan. Aku bingung dalam ketidaktahuan, sungguh apa yang harus aku lakukan? Tuhan, untukku berikan aku ampunan. Tanpa kusadari mata ini berbisik.

“Kawan, apa yang engkau sedihkan? Bukankah engkau sudah mendapat jawaban.”

“Memang, tapi itu belum memuaskan.”

“Apa maksudmu?”

“Karena engkau hanya dapat melihat tanpa bisa merasa, lalu bagaimana engkau dapat mengerti arti cinta.”

“Benar, aku hanya dapat melihat tanpa bisa merasa, karena aku bukan hati.”

“Kalau kamu menyadari itu, lalu mengapa engkau menyetujui?”

“Bukan persoalan setuju atau tidak, namun aku harus bagaimana? Merekalah yang telah memperlakukan aku seperti ini.”

Kulihat tetesan embun mengalir dari celah kamar kedukaan, kerling bola matanya menjadi sembab. Tanpa terasa aku pun hanyut dalam pusaran badai kepiluan. Kucoba untuk menghiburnya dengan persembahan kata maaf. Namun, apa yang kudapat? Goresan luka yang terlalu dalam untuk dilupakan.

“Saudaraku, apa yang telah dirimu perbuat dengannya?” Tanya akalku.

“Akal, sungguh, bukan maksud hati untuk menyakiti, namun apa daya diriku tiada mengerti.”

“Apa sebenarnya yang engkau cari?”

“Makna cinta dari ketulusan hati.”

“Belum cukupkah apa yang telah mereka beri?”

“Akal, apa yang harus aku jawab untuk pertanyaan ini? Mereka mengatakan cinta datang dari mata turun kehati. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak dapat melihat dengan mata, haruskah aku mengatakan hal yang sama?”

“Kalau itu permasalahannya, coba tanyakan telinga.”

Kutundukkan wajah dengan penuh rasa malu, aku ragu apakah telinga berkenan untuk menerima kebodohanku. Aku terdiam sesaat, sebelum kemudian,

“Wahai telinga, sudikah engkau memberi tahu?”

“Saudaraku, bagi mereka yang tidak dapat melihat, cinta datang dari telinga turun ke hati.”

“Lalu, dengan apa engkau memutuskan itulah cinta?”

“Dengan suara yang keluar dari rasa.”

“Dari mana engkau mendapatkan rasa itu?”

“Terus terang, dari hati.”

“Sekarang, jika dirimu tiada dapat mendengar, dari mana engkau akan mengambil keputusan?”

“Dari kulit yang membalutku.”

“Mengapa?”

“Karena dia dapat merasakan suatu getaran yang menyentuhnya, meski tanpa melihat dan mendengar.”

“Lewat apa dia merasakan itu?”

“Aliran darah yang menyesaki seluruh urat nadi tubuhnya.”

“Bagaimana kalau kulit itu terluka, dan aliran darahnya keluar atau terhenti membeku. Apakah dia juga masih bisa merasa?”

“Tidak!”

“Lalu dengan apa?”

“Hati.”

“Baiklah! Namun, mungkinkah hati dapat mengerti jika tiada sentuhan itu?

“Tidak!”

“Lalu dengan apa?”

“Akal.”

“Sanggupkah akal memberi keputusan tanpa pertimbangan hati?”

“Tidak!”

“Lalu, kapan aku akan mengerti jika jawabanmu hanyalah tidak, tidak, dan tidak?”

“Masih ada lagi saudaraku.”

“Apa itu?”

“Pikiran.”

“Ha… ha… ha… kamu mulai gila rupanya, sejak kapan pikiran keluar tanpa akal?”

“Saudaraku, maafkan aku jika belum bisa memberi jawaban itu.”

“Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, jawaban apapun itu tidak menjadi soal. Dari manapun datangnya cinta itu sama saja, karena yang terpenting adalah cinta itu sendiri. Dan itulah yang sebenarnya aku belum mengerti dan memahami.”

Kami terdiam dalam renungan masing-masing. Mencari, mencari, dan mencari. Jangan putus asa, hanya itu yang terus berkobar dalam jiwa ini.

“Saudaraku, dari mana engkau akan mulai mencari wujud sesungguhnya cinta?” akal tiba-tiba bertanya.

“Dari mata.”

“Mengapa?”

“Karena kebanyakan manusia menggunakannya.”

“Apakah selain dirinya, mereka tidak menggunakan?”

“Menggunakan tetapi tidak sepenuhnya.”

“Karena apa?”

“Karena matalah mereka mengerti keindahan, keanggunan, kebaikan, keburukan, kebodohan, kepandaian, kelicikan, dan kejujuran.”

“Baiklah kalau itu maumu, mari kita mulai.”

Aku mencoba menenangkan jiwa, meski masih agak gemetar, kupaksa diri ini untuk menghilangkan perasaan itu.

Seiring gelap yang terus beranjak, membelah jiwa-jiwa kesunyian.
#jalanku sunyi#

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun