Polanya kini sudah kita kenali: demokrasi konstitusional, meski masih banyak kekurangan, berfungsi dengan cukup baik dan menghasilkan pemilu yang transformatif. Kemudian, seorang pemimpin karismatik (dengan gayanya yang sangat “menawan” dan populismenya) naik ke tampuk kekuasaan. Dia mendapatkan tambahan kekuatannya dari kondisi kejenuhan rakyat terhadap kondisi yang ada dan pasangan calon yang itu-itu saja. Pemimpin ini kemudian menjanjikan perbaikan esktrem terhadap berbagai ketidakberfungsian, seperti partisanship (kondisi keberpihakan pada parpol, golongan, atau pribadi yang kronis), ketidakefektifan jalannya pemerintahan, dan birokrasi yang stagnan. Dia mengklaim selalu berkata apa adanya, penuh dengan kejujuran, dan tanpa basa-basi selalu mengungkapkan dirinya yang berpihak pada rakyat. Dia menggunakan kekuatan dirinya yang berkarisma, populis, dekat sama rakyat, berbadan ramping, dan kemeja yang selalu tampak digulung, sambil meyakinkan rakyat [baca: pendukungnya yang buta] bahwa negara ini milik mereka, hanya milik mereka. Dia memenangkan kekuasaan, dan benar-benar memenangkannya, dengan begitu lihai dan terampil dan memulai langkahnya untuk memperkosa konstitusi. Sebut saja dia: Sri Paduka.
KEMBALI KE ARTIKEL