Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Jogja: Budaya Nongkrong dan Dinamikanya

31 Januari 2014   06:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:18 492 0

Salah satu keunikan di Jogja adalah budaya nongkrongnya. Menurut penulis, nongkrong bukan hanya melepas lelah, kepenatan, galau, setelah seharian menjalankan aktivitas. Budaya nongkrong di Jogja lebih dari sekedar itu. Berdiskusi, seminar, dan berbagi informasi merupakan isi dari budaya nongkrong di Jogja. Tentunya tidak monoton, tempat-tempat nongkrong di Jogja, pada hari-hari tertentu juga mengadakan akustikan, pentas seni, dan aktivitas lain. Aktivitas semacam ini menjadi rutinitas dalam setiap minggu dan bergantian.

Nongkrong adalah media meracik potensi, berekspresi dan menghibur diri. Walaupun ada di daerah tertentu orang yang beranggapan nongkrong merupakan aktivitas yang tidak produktif dan buang waktu. Di Jogja, anggapan ini tidak berlaku. Budaya nongkrong adalah aktivitas yang dinamis dan memiliki makna dan pesan tersendiri. Seiring perjalanan waktu, budaya nongkrong ini terus mengalami perubahan=perubahan sesuai kebutuhan dan tantangan jaman.

Budaya nongkrong di Jogja ini bisa juga dijadikan wisata kuliner. Biasanya tempat nongkrong menyediakan menu-menu tertentu yang khas dari daerah-daerah di Indonesia. Menu kopi misalnya, ada yang didatangkan dari daerah lain. Hal ini dilakukan untuk memanjakan pengunjung. Tentunya tidak semua tempat nongkrong menyediakan menu seperti itu, hanya sebagian saja.

Jadi, siapa saja yang berkunjung ke jogja atau yang tinggal di Jogja, jilka tidak pernah menikmati nongkrong di malam hari, bagi penulis kurang afdhal. Walaupun di daerah lain ada budaya nongkrong, tapi nongkrong di Jogja punya cita rasa yang berbeda. Coba saja kalau tidak percaya, pasti kecanduan.

Bila kita ingin menikmati keindahan Jogja, malam hari adalah waktunya. Di pojok-pojok kota, ada keramaian. Tempat nongkrong mudah ditemukan dan penuh pesan dan makna. Jogja tak pernah sepi, sampai larut malam sekalipun. Sahabat penulis pernah berceloteh, "suasana Jogja itu tak terbeli".

Ada juga yang bilang, "Jogja tak nyaman lagi". Bagi penulis, peryataan itu muncul karena ia tidak menikmati kenyamanan dan keramahan Jogja. Melihat satu gejala yang berubah kemudian mengenaralisir seperti itu. Jogja tetaplah Jogja, kota republik yang dinamis. Tak ada kemampanan di Jogja, semua bergerak dinamis, mulai dari gerakan mahasiswa sampai gerakan pemikiran. Budaya nongkrong di Jogja merupakan ladang pergolakan pemikiran yang tak pernah berhenti.

Alhasil, budaya nongkrong di Jogja adalah sebuah media untuk memikirkan yang tak terpikirkan oleh orang banyak. Nongkrong dan semua dinamikanya merupakan proses pergolakan yang akan terus ada. Jaman pasti berubah, budaya nongkrong juga akan berubah, tapi semangat, pesan dan maknanya pasti ada. Jogja tidak gagap terhadap perubahan, karena Jogja adalah penggerak perubahan. Dari lingkaran kecil, perubahan itu akan terwujud, dan sejarah telah mencatat itu.

"Jogja Berhati Nyaman". Sekian!

twitter: @firmandaeva

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun