Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Jurnalis Muda Membedah UU KUHP 2022

11 Desember 2022   01:33 Diperbarui: 11 Desember 2022   02:36 262 3
Menjadi Jurnalis bukanlah hal yang mudah. Selalu cekatan, teliti dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan pelayanan informasi kepada publik.

Sederet nama telah terpampang dalam bikai berpita hitam lantaran harus gugur di medan peliputan ataupun harus terenggut nyawa dengan paksa lantaran kehadirannya dinilai sebagai ancaman bagi beberapa oknum nakal yang nekat menerabas aturan.

Kelompok jurnalis-pun akhir-akhir ini tampak mulai gerah merespon pengesahan atas UU KUHP oleh DPR RI lantaran beberapa pasal kontrofersi yang dinilai mencoba melampaui kedudukan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang PERS.

Siapa yang tidak ingin menjadi negara mandiri yang independen serta kokoh dalam institusi. Namun, wajarkah jika prodak hukum yang dilahirkan mesti berakibat buruk terhadap keberlangsungan proses demokrasi? bukankan demokrasi yang pancasilais yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi pakem dan tak boleh diotak-atik?

Dari Pasal Kriminalisasi Jurnalis hingga Pasal Belenggu Profesi

Ada beberapa pasal yang menurut penulis butuh penelaahan hukum kembali karena akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap profesi yang dilindungi UU Internasional ini.

Pasal yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis yaitu Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Lantas, apakah jurnalis harus membiarkan saja jika Presiden sebagai sosok tauladan bagi masyarakat melakukan kesalahan. Tentu pasal ini tidaklah relefan dan berbenturan dengan kode etik serta UU Pers.

Hal serupa juga kembali ditambahkan dalam pasal 240 dan Pasal 241 tentang tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah. Serta, Pasal 263 yang mengatur tentang tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Padahal profesi jurnalis adalah profesi yang sangat kecil kemungkinan melakukan penyiaran informasi bohong. Apakah regulasi ini dibentuk sebagai prodak yang bisa digunakan untuk menakut-nakuti para kuli tinta?

Dalam Pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap. Pasal ini tentunya bisa dibuat sebagai jeratan bagi jurnalis yang kritis dalam mengawal penyimpangan aturan perundang-undangan.

Regulasi kontrofersi ini kembali muncul dalam Pasal 280 tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan serta Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

Berlanjut ke pasal 436 tentang tindak pidana penghinaan ringan dan Pasal 433 tentang tindak pidana pencemaran. Pasal 439 tentang tindak pidana pencemaran orang mati, serta sebuah jebakan lainnya kembali dicantumkan dalam Pasal 594 dan Pasal 595 tentang tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Dari pasal-pasal diatas, mari coba kita renungkan. Akankah hak asasi manusia yang mestinya menjadi perioritas utama justru menjadi momok. Kita menyebut diri sebagai bangsa yang berpijak pada sistem demokrasi yang pancasilais. Namun, prodak hukum yang dibuat tak jauh beda seperti aturan di negeri yang diktator. Mari merenung dan berteriaklah dengan lantang !!! Menolak tunduk dengan kemungkaran !!!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun