Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jangan Main-Main dengan MK

29 Juli 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 181 0


Makassar 29 Juli 2010. Pagi tadi, Pahir Halim, mantan anggota KPU Makassar duduk bersebelahan dengan salah satu anggota DPRD Kota Makassar di dekat pintu masuk ruang berpendingin Warkop Phonam, Jalan Boulevard Makassar. Pahir adalah senior saya saat bekerja di salah satu LSM di Makassar. Kini jadi konsultan “pilkada” pada beberapa kabupaten penyelenggara pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) di Sulawesi Selatan.

Beberapa sahabat mengenalnya sebagai “ahli pembuat kesimpulan atau rekomendasi”, utamanya jika menjadi fasilitator atau moderator diskusi politik. Selalu menyenangkan ngobrol dengannya.

Saya minta satu voucher internet ke kasir dan menuju ruangan yang berpendingin.

Di dalam, duduk Andi M. Zulkarnain, alumni Ilmu Kelautan Unhas yang bekerja pada divisi CSR (Corporate Social Responbility) salah satu perusahaan besar di tanah Luwu. Dengan Cambang (begitu saya memanggilnya). Ini pertemuan kedua sejak satu bulan terakhir. Dia dikenal akrab dengan beberapa aktivis LSM Makassar walau wilayah kerjanya ada di ujung utara Sulawesi Selatan. Dia akrab dengan beberapa tokoh politik dari jazirah Luwu, salah satunya Luwu Timur yang kini baru saja berperkara ihwal Pemilukada di Mahkamah Konstitusi.

Cambang dan beberapa rekannya rupanya baru saja pulang dari Jakarta dan sempat menyambangi ruang sidang mahkamah konstitusi.

Obrolan Kami

Sebagaimana layaknya obrolan warung kopi, topik seputar dari kegiatan dia di Luwu Timur, dinamika masyarakat pendatang dan warga lokal, tradisi pedagang orang Bugis, pokok pikir mantan Wapres JK hingga bagaimana minat dagang orang Wajo, predikat yang disandang Cambang. Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan jiwa kesaudagarannya, jiwa pedagang. Selain itu juga dikenal sebagai gudangnya Professor yang banyak mengisi universitas ternama di Makassar.

Diskusi kemudian mengarah pada jiwa entrepreneurship alias jiwa pedagang seperti yang kerap disinggung JK. JK termasuk yang mendorong tumbuhkembangnya spirit “pedagang” itu. “Inilah yang disebut Merchantilisme,” Kata seorang sahabat.

Itu bedanya mengapa orang Bugis lebih terampil menjadi pedagang, daripada “industriawan”. Coba bandingkan dengan orang Jawa, yang lebih kaya inovasi dalam mengubah produk menjadi banyak ragam. Para pendatang menyulap daging menjadi sate, rawon, bakso dan lain sebagainya. Orang Jawa kaya inovasi.

“Sementara orang Bugis piawai dalam berdagang beras, kakao, jagung dan lain sebagainya. Jelas bukan inovasi, itu hanya butuh keahlian dagang, komunikasi, pendekatan situasional dan keuletan,” Begitulah kesimpulan sementara kami.

“Tidak perlu sekolah untuk jadi pedagang,” Kata sahabat itu.

Lalu saya berpindah ke Cambang.

“Ngapain saja di Jakarta boss,?” Pancingku.

“Ya seperti ini, saya sempat ngopi di Phonam Jakarta. Di sana saya bertemu banyak aktivis termasuk Akbar Faisal anggota DPR RI dari Partai Hanura yang juga orang Wajo,” Katanya bangga. Di meja kami, beberapa saat kemudian datang Pahir.

Saya coba arahkan obrolan.

“Apa jadinya jika seorang saksi dari desa diboyong ke Mahkamah Konstitusi,?”.

Tiba-tiba saya ingat bahwa akan ada beberapa saksi dari calon pemenang Pemilukada Kabupaten Selayar yang akan diboyong ke Jakarta seperti yang saya baca dari salah satu harian di Makassar. Mereka akan didudukkan di depan Mahkamah Konstitusi.

Ya, di mahkamah konstitusi, benteng terakhir keadilan di Indonesa.

“Seperti apa kondisi di sana ya?”

“Wah jangan main-main pak,” Kata Cambang. “Suasananya sangat menegangkan,” Lanjutnya.

“Betul, “timpal Pahir. “Suasananya sangat megah, lapang dan jauh berbeda di ruang persidangan biasanya yang sempit. Jarak antara hakim dan saksi sangat jauh. Di Mahkamah Konstitusi pengacara, pembela dan siapa saja yang terkait dalam perkara Pemilukada, tidak boleh overacting atau mengada-ngada. Profesionalisme pengacara menjadi pertaruhan. Jika tidak siap pasti keok,” Kata Pahir.

Terkait sengketa hasil Pemilukada, sejauh ini ada dua keadaan yang perlu dilihat terkait gugatan pemilukada, “ditolak atau diterima”. Ditolak artinya, ada beberapa pertimbangan murni MK yang putuskan berdasarkan kepada pertimbangan keadilan sosial, yang tidak semata-mata melihat data-data atau fakta persidangan. Selain itu juga terkait dengan cakupan peran atau konteks. Ada beberapa yang mestinya bukan domain MK tetapi terkait dengan prosedur yang masuk di wilayah teknis pemilukada, seperti tenggat aduan.

Semisal, saat menolak gugatan kandidat kepala daerah di lima kabupaten yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sulawesi Selatan (Sulsel) bulan Juni pada tangga 26 Juni. Menurut majelis hakim MK yang diketuai Mahfud MD, gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum para kandidat yang kalah suara versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat sudah kedaluarsa sehingga tidak dapat diterima.

“Permohonan pemohon telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan,” kata hakim konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan putusan sengketa pilkada Gowa seperti dikutip dari Harian Tribun Timur, Makassar. Diterima artinya, mesti melengkapi dan akan diuji dipersidangan dengan menghadirkan bukti dan saksi-saksi.

Tiba-tiba saya membayangkan saksi dari desa yang bisa jadi telah dikarantina atau disetting sedemikian rupa supaya dapat memperkuat salah satu kandidat di depan Mahkamah Konstitusi.

Banyak hal yang mesti dipahami dan dikuasai oleh para pemohon/penggugat. Ada beberapa hal yang memang terlihat “angker”. Yaitu terkait relevansi atau konteks gugatan, urgensi fakta persidangan, sistematika, hingga kaitannya dengan tugas MK itu sendiri bahkan iklim persidangan yang memang sengaja dibuat seperti cara duduk saksi yang harus sopan.

Itulah mengapa kerapkali MK terlihat sangat kokoh, tegas dan tidak mau masuk ke wilayah spekulatif, seperti dugaan dan persepsi yang tak berdasar.

Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Menurut UUD 1945. Kewajiban dan wewenang MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.

“Jangan main-main di MK,” Kata Pahir dengan gaya bicaranya yang khas disertai gelak tawanya.

“Para pengacara atau praktisi hukum yang terbiasa dengan praktek persidangan di kabupaten/kota mesti benar-benar professional, dalam arti mesti mempersiapkan segala sesuatu dengan detil, sistematis dan tanpa persepsi atau dugaan-dugaan. Itu berarti bukan semata-mata mengutamakan pertimbangan emosional atau – gengsi – atas klien mereka saat terlampaui di perhitungan suara,” Katanya.

“Jangan pernah bilang, menurut perkiraan kami…Jika Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak bermasalah maka kami akan meraup suara pada pemilukada ini sekian persen,” Kata Pahir. “Itu pasti ditampik oleh MK,” Katanya. “Dari mana dapat data bahwa sekian suara akan anda peroleh,?” Begitu jawaban Hakim jika ada pemohon dan pengacaranya membangun dugaan.

“Oleh karena itu, gugatan pemilukada memang harus benar-benar dipersiapkan, terukur, faktual dan tidak asal komplain,” Katanya lagi.

Menurut Cambang, yang disebut politik uang pun, kerap tidak dipahami oleh para pengacara atau saksi. Mereka kerap menyebut ada praktik suap tetapi itu “tidak sistematis” karena hanya dia yang mengalami. Disebut sistematis jika suap yang digunakan untuk mempengaruhi yang lain secara sistematis. Itulah mengapa saat ada saksi yang mengatakan menerima bukti suap, maka hakim melihat sisi dampak sistematisnya alias tidak selalu menjadi sumber keputusan.

“Termasuk pertimbangan massif atau tidaknya satu tindakan,” Tambah Pahir.

Posisi MK memang merupakan benteng terakhir keadilan di Indonesia.

“Betul sekali, mereka memang sangat vital dan punya kapasitas yang mumpuni. Mahfud MD adalah salah tunya” Kata Pahir yang disebutnya justeru mempunyai sense of humor yang baik dalam menyikapi dinamika di persidangan.

Cambang buat kami tergelak saat dia menceritakan gaya para hakim saat membaca putusan dan membaca salinan perkara yang sangat tegas dan cuek pada protes atau keberatan dari peserta sidang. Dia menceritakan beberapa kejadian persidangan yang menunjukkan betapa emosi dan fokus saksi dapat terganggu jika mereka tidak siap menghadapi pertanyaan para hakim. Demikian pula jika ada pengacara yang tidak kebagian kursi.

“Bisa saja mereka di suruh berdiri saja, saat tidak ada lagi kursi di ruang sidang,” Kata Cambang.

Lalu, saya membayangkan dinamika pemilukada di beberapa kabupaten yang kerap memobilisasi massa untuk berhadap-hadapan akan berlanjut ke sekitar gedung Mahkamah Konstitusi.

“Tidak ada itu,” Kata Pahir. Urusan mahkamah adalah memutuskan. “Jika ada yang memobilisasi massa itu urusan polisi,” Katanya. “Justeru di situlah esensinya, semua pihak mesti menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi dan tidak gegabah dalam menyodorkan eksepsi atau argumen,” Katanya lagi.

Memang, saat ini banyak kuasa hukum pemohon Pilkada yang kecewa atas keluarnya vonis seperti kelima pemohon dari Sulawesi Selatan. Menurut mereka seharusnya MK mempertimbangkan pokok perkara yang diajukan pihaknya. Mereka menyebut bahwa mestinya lebih mementingkan keadilan prosedural daripada substansial,”. Maksudnya pokok perkara dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Mahkamah Konsitutusi adalah benteng akhir keadilan dalam penyelenggaraan pemilukada. Karena fungsi itu, ada beberapa hal yang perlu diapresiasi. Pertama tentang suasana dalam proses di persidangan yang memang sangat “mulia”. Kesembilan anggota hakim bagaimanapun, mesti memutuskan bersama. Wakau dalam prakteknya, mereka membagi tiga diri dalam persidangan namun saat memutuskan tetap melibatkan kesembilan hakim itu dalam pleno sidang. Kedua, bagaimanapun praktek persidangan di sana menuntut pertimbangan faktual atau relevansi dengan keadilan hukum. Rasa percaya atau tunduk pada eksistensi Mahkamah Konstitusi merupakan satu keniscyaan.

Cambang menimpali, “Saat di Jakarta saya melihat seorang saksi, yang berbelit-belit dalam memberi keterangan menjadi tertekan. Sikap dan gaya komunikasi para hakim membuatnya stres. Bahkan ada yang bisa mules saat kedok mereka terbaca oleh Hakim,”.

“Apakah ada bukti bahwa saudara disuap?,” Tanya Hakim ditirukan Cambang kepada saksi.

“Ada pak Hakim,” Jawab saksi sambil menunjukkan sebungkus mie isntan.

“Tanggal berapa saudara diberi?. Mengapa saudara tidak makan saja,?” Tanya Hakim.

Saksi gelagapan. Komentar yang disampaikan Hakim membuat saksi warga biasa ini jadi bingung.

Kami tergelak sekaligus prihatin atas cerita Cambang ini.

Makassar, 29/07/2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun