Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Presiden, Tetaplah Petugas Partai

9 April 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 293 4
APA boleh buat, sang presiden tetaplah petugas partai. Itu yang dengan mudah ditangkap dari pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Berbicara pada pembukaan Kongres IV PDIP di Grand Inna Sanur Hotel, Denpasar, Kamis, 9 April 2015, Mega meminta Presiden Joko Widodo tak nyelonong mengambil kebijakan, tanpa konsultasi dengan parpol pengusung dan pendukung di Pilpres 2014.

Di atas podium, Megawati berucap lantang, tegas, dengan intonasi terjaga; sudah semestinya presiden dan wakil presiden menjalankan kebijakan yang menyatu dengan kebijakan partai politik pendukung. Menurutnya, ada hal yang harus dituntaskan tentang relasi antara pemerintah dan parpol pengusung. Hal itu penting karena hubungan keduanya semestinya mencerminkan kehendak dan prinsip dalam demokrasi.

Megawati mengutip UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai landasan konstitusional tentang relasi antara pemerintah dengan parpol pendukung.

Megawati merasa perlu menjelaskan prinsip demokrasi itu. Ia menyebutkan, prinsip itu sangat relevan dengan kondisi yang ada. Ia perlu menjelaskan, terutama pada pihak yang mengatasnamakan kelompok independen dan selalu menyebut partai sebagai beban demokrasi.

Mega mengaku tak menutup mata terhadap berbagai kelemahan partai politik. Presiden kelima RI itu, bisa menerima kritik dan siap dengan otokritik. Namun, putri Presiden pertama RI, Bung Karno itu, tak terima jika partai disebut hanya sebagai ornamen demokrasi dan sekadar alat tunggangan kekuasaan politik. Karena itu, sama saja mengerdilkan makna dan arti kolektivitas partai yang berasal dari rakyat.

Lewat pidato politiknya itu, Mega seperti ingin membungkam kritik berkaitan 'sepak terjang' sang presiden, yang di luar kontrol parpol pendukung. Masih segar dalam ingatan bagaimana Jokowi dengan berani tak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, meski telah lolos fit and proper test DPR, sesuai pengajuan sang presiden.

Jokowi berlindung pada ramainya kritik atas status hukum BG sebagai tersangka korupsi dari KPK, seolah ingin mengesankan langkahnya itu untuk menjawab protes publik. Ia tetap tak melantik Komjen BG, meski akhirnya hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi membatalkan status tersangka korupsi jenderal polisi bintang tiga itu.

Intervensi politik

Adalah Megawati yang pertama menyebutkan istilah petugas partai untuk Jokowi itu, saat menghadapi Pilpres 2014. Saat menjadi juru kampanye nasional di hari kampanye terakhir di Stadion Trikoyo, Klaten, Sabtu (5/4/2014) siang, Mega menyebutkan Joko Widodo, petugas partai yang dipilih menjadi Capres 2014-2019.

Sontak muncul kritikan ramai. Kritik terus mengemuka, sampai pasangan Jokowi-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Banyak yang mengkhawatirkan Jokowi hanya boneka, atau anak manis di bawah ketiak parpol, terutama Megawati.

Kesan itu mencuat dalam penyusunan Kabinet Kerja, yang awalnya digadang-gadang bebas dari intervensi politik. Meski mengakomodir kalangan profesional, penunjukan sejumlah politisi wakil parpol pendukung dinilai tidak tepat, setidaknya di posisi yang diembannya. Ada pos penting dalam penegakan hukum, yang ternyata diisi kader parpol, sehingga dituding bisa melemahkan janji kampanye untuk memberantas KKN.

Cap petugas partai itu, terus mengemuka bahkan seperti sengaja diulang-ulang, meski tidak lewat Megawati, terutama sejak Presiden Jokowi tak kunjung melantik Komjen BG sebagai Kapolri. Itu juga yang terdengar ketika ada wacana mengusung Jokowi sebagai Ketua Umum PDIP 2015-2020, menggantikan Megawati Soekarnoputri.

Sejak itu pula, spekulasi atas dinginnya hubungan 'petugas partai' dengan 'pemimpin partai' mengemuka. Ada rumor Jokowi ingin lepas dari bayang-bayang sang pemberi perintah. Itu misalnya makin kuat terlihat ketika bekas Gubernur DKI Jakarta itu, dikabarkan mendekat ke Prabowo Subianto, seterunya dalam Pilpres 2014.

Tetapi, Megawati Soekarnoputri yang lebih banyak diam, dan tak menanggapi semua spekulasi itu, selalu punya cara tersendiri untuk menyelesaikan persoalan. Dengan taktis ia membungkam kritik, sekaligus langkah Jokowi yang mengesankan berusaha keluar dari cap petugas partai itu. Ia menuntaskannya lewat pidato politik di Kongres IV PDIP, diwarnai air mata saat pembukaan kongres dan penutupan pidatonya.

Belum terdengar tanggapan Presiden Jokowi yang hadir beserta sejumlah menteri. Jokowi yang berbaju putih dibalut jaket merah khas PDIP, tanpa lambang partai, duduk di sisi kanan Mega. Di sebelah kirinya Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, putri Mega dan almarhum Taufiq Kiemas. Wapres Jusuf Kalla di sisi kiri Mega.

Penegasan sikap

Pidato pembukaan perhelatan besar partai pemenang Pemilu 2014 tersebut, jelas penegasan sikap sang ketua umum, agar seluruh kadernya, tidak terkecuali yang ditakdirkan menjadi Presiden RI, harus tetap dalam garis. Tidak boleh lepas dari kendali partai politik pendukung.

Boleh jadi kondisi seperti ini tidaklah ideal bagi seorang presiden di negara yang menganut sistem presidensial. Paling tidak, tidak ada salahnya mendengar penjelasan pakar politik dari LIPI, Syamsudin Haris.

Sang peneliti politik ini menilai tekanan besar PDIP ke Presiden Jokowi bisa menyebabkan kondisi pemerintahan labil. Saat tampil dalam sebuah acara di Fisipol UGM, Senin, 23 Februari 2015, dia melambungkan harapan agar PDIP menghentikan sikap politik yang menganggap Jokowi sebagai petugas partai. Bagaimanapun, Joko Widodo, kini seorang Kepala Negara  sebuah bangsa besar, yang harus menaungi semua kelompok. Dia bukan lagi sekedar presiden milik partai pendukung, apalagi PDI Perjuangan semata.

Gangguan ke pemerintahan, yang justru dari partai pendukung utama presiden, dalam pandangan Syamsudin Haris, akan membuat banyak agenda program lima tahunan mandeg. Kalau itu yang terjadi, rugilah bangsa ini. "Persoalannya memang karena Jokowi bukan pemimpin partai politik. Jadi, kuncinya PDIP yang harus tunduk pada Jokowi."

Itu yang tak mungkin. Setidaknya, dengan posisi Jokowi sebagai petugas partai, meski sudah terpilih sebagai Presiden RI. Penegasan Megawati selaku ketua umum PDIP, parpol utama pendukung yang mengantar Jokowi-JK menjadi pemimpin Republik Indonesia, sudah membuatnya terang benderang.

Apapun, kita berharap sang presiden yang petugas partai, Megawati pemimpin partai dan seluruh parpol pendukung, bisa menemukan keseimbangan, sehingga masing-masing tak kebablasan. Ingatlah, pesta demokrasi lima tahunan, sejatinya milik rakyat. Rakyat adalah pemilik suara, yang bakal menentukan sang pemenang pemilu, juga presiden.

Jangan lupa pula, suara rakyat adalah suara tuhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun