Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Anak Mama

3 April 2015   17:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35 63 4
JADI ingat si bungsu yang ngekos untuk menyelesaikan kuliahnya, yang kini baru tahun pertama. Ia, perempuan. Cantik (Hmmm), seperti juga kakak dan ibunya (Hmmm lagi). Kami memiliki panggilan sayang, Dede untuknya, sesuai posisinya sebagai bungsu dari dua bersaudara.

Melepasnya dengan ikhlas untuk menetap di kamar kost dekat kampusnya, bukan perkara mudah. Ada perang bathin dalam hati kami, orang tuanya. Ada kekhawatiran sangat besar menggelayut di dada kami sebagai ortu. Biasa, ketakutan orang tua, seperti keluarga lainnya.

Maklum saja. Selama ini, untuk bangun salat Subuh saja harus berkali-kali gedar-gedor pintu kamar tidurnya. Untuk makan teratur saja, ia masih harus diingatkan. Merapikan tempat tidur, meja belajar dan kamarnya pun, belum becus. Belum lagi ini, belum lagi itu. Sekali lagi, biasa, ini kekhawatiran ortu.

Karena kampusnya jauh sekali dari rumah, dia terpaksa ngekos. Tidak seperti sang kakak yang ketika berkuliah sampai merampungkannya akhir tahun lalu, tetap bisa pulang pergi ke rumah kami.

Belum termasuk soal kerawanan kamtibmas. Mulai dari pergaulan bebas, bahaya narkoba, kawanan begal dan lain sebagainya. Membayangkannya saja bulu kuduk semua orang tua, seperti kami, pasti sudah berdiri.

Sekali lagi, ini kekhawatiran orang tua. Apalagi, sekarang semua harus disiapkan Si Dede sendiri. Makan-minum. Pakaiannya dan lainnya. Semua harus disiapkan dan dilakukannya sendiri. Tak ada lagi Si Bibi yang menyediakan makan-minum, dan pakaiannya sehari-hari, serta membereskan kamar tidurnya. Akh, sedihnya.

Tetapi, hampir setahun berlalu, Alhamdulillah, semua berjalan baik-baik saja. Bungsu kami betah di kamar barunya, di tempat kostnya. Ia kuliah dengan rajin dan tekun, sambil memuaskan keingintahuannya yang besar dengan mengikuti beragam kegiatan di kampusnya. Malah, di sela-sela kesibukannya, ia masih bisa mendedikasikan waktunya setiap hari minggu selama beberapa jam untuk mengajar anak-anak di sebuah komunitas. Luar biasa bungsu kami. (Oh ya, lain kali akan ada cerita tentang sulung kami yang juga luar biasa).

Yang sangat menggembirakan, prestasi akademiknya bagus, bagus sekali malah. Saat menerima hasil ujian semester satu, dengan riang ia memberitahukan indeks prestasinya yang tinggi; "Wah Dede cumlaude nih," katanya bercanda.

Ternyata bungsu kami bisa mengatasi semua masalahnya sendiri. Segala ketakutan atau bahkan kekhawatiran kami, sepertinya berlebihan.

Tiba-tiba saja bayangan si bungsu yang ngekos sendiri dekat kampusnya, berkelabat, subuh tadi. Di televisi yang menayangkan acara keagamaan (Islam), seorang jamaah mengeluhkan masalahnya. Anak si ibu diam-diam pindah kost. Ia malu karena ibunya sering datang, tentu untuk mengatasi kekhawatiran sebagai ortu itu.

Ternyata sikap itu salah.

Dengan gaya jenaka sang ustaz, cenderung menyalahkan si ibu. Kekhawatiran berlebih kerap membuat ortu salah mengambil putusan. Solusi yang ditempuh si ibu keliru.

Karena, si ibu, seperti kebanyakan ortu, masih menganggap anak remajanya seperti balita, yang untuk makan saja masih harus disuapi. Padahal, si anak sudah beranjak remaja, bahkan telah dewasa. Dia bukan lagi anak mama. Si anak, tidak saja secara fisik bertambah besar, juga tingkat intelektualitasnya terus berkembang, malah terkadang melampaui orang tuanya.

Ada yang kerap tak kita sadari sebagai ortu, dalam menghadapi anak-anak kita yang terus tumbuh beranjak remaja dan dewasa. Kekhawatiran dan ketakutan berlebihan terkadang membuat orang tua menjadi posesif pada anak. Di titik ini konflik ortu-anak kerap pecah.

Ortu masih tidak menyadari kesalahannya. Orang tua belum bisa memahami perubahan anak-anaknya. Ortu tak bisa memposisikan dirinya sebagai anak yang membutuhkan privasi dan kebebasan menuju kemandiriannya sebagai individu. Anak kita kini sudah tumbuh sebagai pribadi mandiri, dengan prinsifnya yang kuat.

Yang elok, seperti kata para ahli, juga sang penceramah, berilah kepercayaan pada anak-anak kita. Tentu setelah memberikan pemahaman dan membekalinya dengan berbagai pesan moral dan agama, sejak dini.

Setelah itu, berusahalah menjadi teman dan sahabat, tempat anak-anak kita curhat, tentang apa saja.

Yang tak kalah pentingnya, jangan putus-putusnya berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan mereka. Dengan begitu, kita, sebagai orang tua, bisa ikhlas melepas mereka. Insya Allah ada Yang Maha Kuasa yang menjaganya.

Upsss... maaf, permisi, saya akan berdoa lagi untuk si bungsu dan kakaknya, anak-anak kami tersayang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun