Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hutan, Selembar Topi, dan Sepenggal Derita

4 April 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:03 203 0
[hujan, tak punya tempat di tepi hutan]
Entah kenapa, aku lebih memilih hutan daripada hujan, dalam mengekspresikan suasana hatiku yang lagi kasmaran. Bagiku, hutan lebih eksotik dibanding hujan. Hujan sudah terlalu klise untuk menggambarkan asmara yang menghangat di kedalaman batin. Sementara hutan, lebih misterius, lebih tak terjangkau, dan lebih tak teraba.

Mengenai pilihan ini, aku yakin banyak yang akan bertanya. Aku merasa, keberatan mereka itu lumrah, sebab hujan terlanjur begitu melekat dengan suasana romantis. Hujan begitu pas untuk menjadi latar ketika sepasang kekasih bertemu berdua di sebuah restoran, di mana mereka memilih duduk di bagian sudut dengan pencahayaan minim dari sepasang lilin.

Coba bayangkan ketika anda berada dalam suasana seperti itu, hanya berdua bersama sang terkasih, rerintik hujan yang menampar-nampar jendela kaca di samping meja, ditingkahi dengan alunan suara gesekan biola akan membuat suasana hujan yang gigil menjadi hangat, malah bisa membakar gairah dan gelora asmara.

Tapi itu semua tak membuatku goyah untuk kemudian mengkhianati hutan dan memilih mencintai hujan. Tidak, tidak akan kulakukan tindakan bodoh itu. Mungkin aku terkesan kolot di mata para pencinta dan pemuja hujan. Tapi tidak mengapa, apalagi, meskipun aku lebih memilih hutan dibanding hujan, aku juga tak menjadi pembenci hujan.

Bahkan sejak masih remaja belia sampai sekarang, aku begitu menyukai tiga hal: hujan dinihari, embun pagi, dan puisi. Ya, hujan dinihari, bukan hujan yang turun di waktu-waktu yang lain. Ada suasana lain yang tercipta ketika hujan itu turun di dinihari bila dibandingkan dengan hujan yang turun di waktu lain. Maka, aku memilih hutan dibanding hujan selain hujan dinihari.

Hujan dinihari bisa membuatku menjadi manusia seutuhnya, manusia yang mengambil tindakan bukan karena tekanan aturan, dan sistem yang begitu mengikat, tapi memutuskan sesuatu karena sesuatu itu menyenangkan untuk dilakukan. Hujan dinihari bisa membuatku berani melanggar kebiasaan dan aturan yang mengungkung.

Bila hujan turun di saat dinihari, aku akan lebih memilih untuk kembali menarik selimut daripada bergegas bangun dan segera mandi agar tak terlambat sampai di tempat kerja. Persetan dengan kata terlambat, hujan dinihari terlalu indah untuk ditinggalkan. Lebih nikmat rasanya bila hujan dinihari diisi dengan tidur melengkung di bawah selimut sambil memeluk erat guling atau boneka kelinci besar yang setia menemaniku berhibernasi.

Hujan terlalu sering membuatku kecewa, berapa banyak janji yang harus diundur, atau bahkan tertunda tanpa kejelasan hanya karena hujan yang tiba-tiba menderas dan membadai. Jalan-jalan tergenang air, reranting patah dan beterbangan, pepohonan tumbang dan bergelimpangan. Dan tentu saja, aku yang menjadi kuyup, seperti seekor ayam yang baru saja dicelupkan ke kolam.

Saat galau mendera kalbu, hutan menjadi pelarian abadi. Desau angin di sela pokok randu, kesiurnya yang berpadu dengan lambaian rumpun bambu, sungguh lihai menghalau galau. Aroma daun gugur yang menjalani takdir menjadi humus, berpadu dengan bau tanah lembab, terasa begitu khas dan menyegarkan.

Kadang secara tak sengaja, di sela reranting kering yang meranggas itu, tiba-tiba muncul sepasang sayap mungil dari peri cilik yang membawa sekeranjang pil rindu. Dengan sayap mungil berwarna jingga itu, si peri cilik terbang melayang, rambutnya yang pirang melambai-lambai menyebarkan aroma tak terpemanai semerbaknya.

Pil rindu dari keranjang di tangannya akan dia taburkan di atas kepala mereka yang galau karena rindu, bukan untuk menghalau rindu itu berlalu, malah makin mengukuhkannya tertancap di dasar kalbu. Pil rindu memupuk galau menjadi kembang rindu berwarna biru yang wanginya begitu syahdu.

Konon kabarnya, peri cilik itu hanya akan muncul di atas kepala mereka yang di hatinya memang telah tertabur benih-benih rindu, dan tidak bagi mereka yang berhati batu. Tapi anehnya, dia selalu bisa terlihat olehku, padahal rasa-rasanya, galauku telah terhalau tuntas oleh kesiur angin yang berhembus sendu. Atau jangan-jangan...

Ah, ternyata inilah penyebab kenapa galauku terasa sirna bila berada di pinggir hutan ini. Diam-diam, peri cilik itu telah menaburkan pil rindu di atas kepalaku pula. Pantas saja, sejak pertama kali aku mampir di pinggiran hutan itu, aku langsung jatuh cinta pada hutan. Jatuh cinta pada semua yang hadir bersamanya.

Hamparan rumputan di pokok-pokok pinus, senantiasa menggamitku untuk bergulingan diatasnya. Bulir-bulir embun di ujung dedaunan, berbinar indah memantulkan siluet mentari bak warna pelangi yang berpendaran. Lihat, peri cilik itu berputar-putar mengelilingiku, tawanya cekikikan, terasa menggelitik saraf. Dia mengajak berbagi kisah.

[selembar topi, bukan secangkir kopi]
Sudah lama aku menjadi karib si peri cilik, sejak aku menyadari bahwa dia telah menyemai rindu di pelataran kalbu. Kami berbagi tutur, bersalin kisah, dan bertukar cerita, tak pernah jeda. Setiap aku merasa ada waktu lowong, kukunjungi dia di pinggiran hutan tempat angin berkesiur lembut menerpa rerumpun bambu.

Kehadirannya membuatku melupakan sahabat yang setia menemani malam- malam panjangku memupuk galau: secangkir kopi! Aku tak lagi membutuhkan timbunan kafeine dalam aliran darahku, hanya untuk menenangkan kepanikan karena hidup yang kian tak menentu. Aku tak lagi membutuhkan aroma khas kopi yang pekat untuk mengalihkan perhatianku dari beban hidup yang terus menghimpit.

Meski bagi sebagian orang, menikmati kopi adalah simbol kesejatian diri, ekspresi jiwa yang merdeka, dan muasal inspirasi. Tapi bagiku, saat ini, secangkir kopi adalah beban sejarah. Beban untuk secara sadar menjejalkan setumpuk racun kafeine ke dalam tubuh yang kian rentan. Beban untuk berpura-pura menikmati tetes demi tetes cairan pekat itu.

Menyeruput kopi lamat-lamat menjadi kerjaan yang begitu membosankan di mataku. Duduk mencakung di teras gelap, menghadapi secangkir kopi pahit, dan waktu berlalu selama berjam-jam, sementara kopi masih tersisa tetes terakhirnya, entah karena apa. Melamun dan menikmati gelisah jiwa menjadi teman setia menghabiskan kopi yang mendingin, dan malam yang kian gigil.

Kadang saya heran dengan para maniak kopi, mereka mengaku peminum kopi, tapi segelas kopi begitu sulit untuk mereka habiskan. Ketika menghadapi kopi, sebagian besar waktunya berlalu bukan untuk menyeruput kopinya, mereka malah sibuk menatap kepulan asap yang meliuk-liuk dan perlahan menguap di hadapannya. Tak ada upaya untuk mempercepat habisnya kopi yang dihadapi, malah sebaliknya, mereka seperti begitu kasihan untuk menghabiskan kopinya.

Apa nikmatnya mencecap kopi hanya di ujung lidah? Setiap seruput sudah menguap sebelum sampai di tenggorokan. Kenikmatan seperti apa yang tercipta dari cara meminum kopi begitu? Hanya berlapis-lapis ampas yang tersesat di permukaan lidah, di cecap berulang kali, dan rasa sepat pun yang menguar merambat ke hidung dan ubun-ubun.

Itukah seni meminum kopi yang demikian diangung-agungkan oleh para pencinta? Ah, aku telah menghianati seni meminum kopi yang sedemikian. Tak mampu lagi kujaring kenikmatan yang sublim dari galau yang diendapkan di kerak kopi pada dasar gelas. Tak ada lagi kehangatan dari kepulan asap kopi yang menguar lembut.

Ini semua karena persahabatanku dengan si peri kecil pembawa pil rindu di pinggir hutan. Peri itu telah mengalihkan hasratku dari secangkir kopi kepada selembar topi. Ya, selembar topi. Topi yang selalu kukenakan sekarang, topi yang senantiasa menemani setiap perjalananku, topi yang tak pernah lepas memeluk batok kepalaku.

Sebuah topi sejenis pet yang terbuat dari kain beludru berwarna jingga. Model topi ini mengingatkanku dengan pelukis yang paling setia muncul saban minggu di satu-satunya siaran televisi saat itu, Televisi Republik Indonesia. Pelukis itu selalu mengenakan topi pet, tapi tentu warnanya bukan jingga sebagaimana topi milikku.

Dia, pelukis itu, Tino Sidin namanya, selalu memakai topi pet warna hitam, dan selalu hitam. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa Tino Sidin tak pernah mengganti topinya kan? Aku sih tidak terlalu peduli kalau dia menggonta-ganti warna topinya dari biru, hijau, merah, coklat, hitam, atau warna yang lain.

Bagiku, apapun warna topi yang dipakai Tino Sidin si pelukis itu, tetap saja hitam dalam pandanganku saat itu. Musababnya adalah karena aku menonton acara tersebut dengan menggunakan pesawat televisi lama yang hanya mengenal dua warna: hitam dan putih. Saat itu, belum ada seorangpun di kampungku yang mengenal pesawat televisi berwarna.

Kembali ke topi pet milikku. Sengaja aku menggunakannya setiap kali bertandang untuk bercengkrama dengan si peri cilik. Bukan apa-apa, aku waspada, jangan sampai si peri itu masih saja iseng menaburkan pil rindu di atas kepalaku. Coba bayangkan kalau semua galauku menjelma kembang rindu berwarna biru. Bisa-bisa kalbuku berubah menjadi taman rindu.

Padahal bagiku, sebuah kembang rindu saja yang mekar dan mewangi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi relung hatiku, apatah lagi bila dia iseng menumbuhkan berpuluh, beratus, bahkan beribu kembang rindu? Meskipun, aku sudah memperingatinya untuk tidak melakukan itu, tetap saja topi ini kubutuhkan dan bermanfaat ketika sewaktu-waktu dia khilaf, atau penyakit usilnya kambuh.

[sepenggal derita, tak layak diceritakan]
Ah, peri cilik pembawa keranjang berisi pil rindu di pinggir hutan, telah mempengaruhiku sedemikian rupa. Meskipun aku berhasil menghindari taburan pil rindunya di atas kepalaku untuk kesekian kalinya berkat topi petku yang berwarna jingga, namun karena itulah, di fikiranku berkembang wawasan baru tentang hidup yang sedang aku dan orang lain juga jalani.

Bila penikmat hujan memilih untuk menghayati rinai yang berguguran dengan ditemani oleh secangkir kopi dan sepotong cerita, maka hutan –bersama peri cilik pembawa keranjang berisi pil rindu, dan selembar topiku mengajarkan bahwa sepenggal derita lebih pantas untuk dikenang, daripada menikmati sepotong cerita. Bahkan sepenggal derita tak layak untuk diceritakan, dan tak pantas untuk dinikmati bersama secangkir kopi di kala hujan.

Menceritakan derita dan kesedihan hanya akan membuat kita menjadi melankolia, semakin dituturkan, semakin dia membekap jiwa dalam genangan kisahnya yang sendu. Sepenggal derita lebih tepat dinikmati dari saat ke saat, bukankah keindahan hidup muncul dan mengemuka dari rangkaian derita dan kesedihan?

Menceritakan derita yang dialami, sama dengan sengaja menghabiskan waktu hanya untuk meratap. Sebab pada hakikatnya, hidup hanyalah serentetan derita, dan hidup adalah cinta itu sendiri. Bukankah cinta tak pantas untuk diceritakan, melainkan dinikmati tragedinya? Selain sebagai rentetan derita, cinta adalah sulaman tragika, cinta adalah rajutan ketidakpastian. Dan dalam itu semua, para pecinta merasakan kebahagiaan.

Rentetan derita adalah wajah lain dari kerinduan yang lahir dari galau yang mengalami peragian karena pil rindu si peri cilik. Sulaman tragika adalah kembang rindu berwarna biru yang berurat berakar di relung kalbu. Rajutan ketidakpastian adalah benih-benih rindu yang di semai di taman hati. Setiap penikmat derita akan merasakan keindahan yang ganjil dari kerinduan yang sublim.

Kerinduan sebagaimana yang dialami oleh Sawerigading, kerinduan yang berwujud rasa sepi dan terasing entah karena kekurangan apa. Kerinduan yang menemukan muaranya ketika Sawerigading berhasil bersitatap dengan We Tenriabeng, saudari kembar emasnya, saudari yang telah terpisah dengannya sejak pertama kali menjejak bumi.

Hidup adalah alunan musik, namun bisakah musik yang indah tercipta dari sebuah nada sahaja? Akankah mengalun melodi yang harmonis bila tak ada perpaduan antar irama? Tanya semacam itulah yang makin mengukuhkan keyakinanku bahwa tak pantaslah derita itu ditutur-tuturkan, dibeber-beberkan, dan dipiuh ke dalam cerita.

Bukankah musik itu merupakan kait-kelindan panjang derita yang mewujud dari aktivitas saling bunuh sesama nada sebagaimana sabda Nietzche? Ini berarti bahwa apabila kita mencoba menuturkan sebuah derita, maka kita sedang memenggal sebuah musik menjadi butir-butir nada yang terpisah. Ketika sebuah nada berdiri sendiri, dia gagal menjadi musik, maka pada saat itu, dia kehilangan keindahan.

Begitupun dengan sepenggal derita bila dituturkan, dia hanya akan memantik rasa haru, memicu leleran airmata, membuat resah bergolak di jiwa. Sepantasnya, sepenggal derita tetap dibiarkan berada dalam rangkaian panjang derita, agar dia menjadi salah satu nada yang melengkapi keindahan musik kehidupan, menyempurnakan melankolia yang bersarang di kalbu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun