Salam, akhir pekan kamu. Dilalui dengan kegiatan apa? Bersantai dengan keluarga? Belanja – belanja di mall? Menjalani hobi? Atau hampa tanpa kekasih? -Halah, ini apa coba?- Jika memiliki cerita tentang akhir pekan kamu, boleh lah membaca sedikit petualangan kami menyusuri jalur yang (insha Allah) membungkam kesombongan kita, manusia yang kerdil dihadapan alam, apalagi Tuhan.
Trip pekan ini, kami menuju Puncak Bawakaraeng. Dengan tujuan. Ingin merasakan. Seberapa besar kekuatan sugesti berlaku pada manusia. Menakar sampai mana keterbatasan mental ini. Dan semoga, kami bisa melalui semua dengan lancar. Mencapai puncak tanpa kesombongan.
Kamis, dua puluh sembilan maret. -Eh, masih dua puluh delapan. Maaf-. Kami berkumpul di tamako kafe. Sebut saja kelompok Naga (Ahsin, Wahyu, Ari, Pong, Lenka, Ichsan, Sodikin, Velyz, Dedi, Ucok, Jek, Enal) 12 orang dalam satu rombongan. Berencana memulai perjalanan menuju lingkungan Lembanna, Malino – kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Kami berangkat sekitar jam sembilan malam dari Makassar. yang sejak jam empat sore sudah sibuk kordinasi tentang perlengkapan, ransum dan sedikit pengenalan tentang jalur yang akan kami hadapi.
Puncak bawakaraeng, setidaknya ada sepuluh pos. dengan medan dan jarak yang beragam. Pos satu sampai lima, jalur masih “biasa” masih banyak “bonus” yang akan didapat. Jalur santai, kata bang Ucok, masih intro.oh iya, masih katanya : perjalan dari Lembanna sampai pos lima bisa memakan waktu, sekitar 5 jam.
Tapi, yang terjadi di lapangan?
Jumat pagi, pukul delapan tigapuluh, kami memulai perjalanan dari dusun lembanna. Jalur menuju pos satu, sedikit terjal. Saya taksir, sekitar 30o. jalur ini dipenuhi pohon pinus. Ada aliran air sepanjang jalur. Tapi, waktu kami melaluinya. Aliran airnya kering. Butuh sekitar duapuluh sampai empatpuluh menit untuk menempuh jalur ini. Jika kalian bisa jalan sedikit lebih bergairah.
Tapi, belum sampai di pos satu. Taqbangkai kale – kalengku (tubuhku kaget, stamina habis)entah mengapa. Jantungku berdetak tak normal. Bahkan, Lenka menawarkan untuk menemaniku pulang. Kembali ke rumahnya Tata (sebutan untuk tokoh masyarakat di sana) Rasyid. Namun saya masih diam. Masih mengatur nafas.
Mungkin dia tidak tega melihatku yang hampir putus asa. Dia menawarkan lagi, kalo dia mau menemaniku ke Lembah Ramma. Tapi, saya masih besikeras dalam diam. Dan menatap Lenka. Lalu berkata “insha Allah, saya masih sanggup ke Puncak”
Syukurlah, ada teman – teman dari kunrapala ( komunitas remaja penjelajah alam) datang bak pahlawan dari dalam bumi, bersedia mengangkat carrierku sampai pos satu. Tiba di pos satu, perut terasa ada yang bergejolak di dalam.
Ternyata, ampas di dalam sudah tidak betah. Sip, saya merasa harus ditunaikan hajat ini. Setelah buang hajat, tubuh kembali fit. Ternyata ini yang mengganggu sejak tadi. Semagat untuk jalan kembali. Siap angkat carrier lagi. Tapi, ayat mencegahku. Katanya, perjalanan masih jauh.simpan saja staminamu untuk pos lima sampai pos sepuluh nanti.
Belakangan kuketahui, yang mengangkat carrierku bukan Ayat, tapi teman – teman kunrapala yang lainnya. Sebab, Ayat memiliki cedera yang belum pulih sepenuhnya.
Menuju pos dua, jalur sedikit tertutup semak. Disini, jalan sedikit landai. Tapi cukup menguras tenaga. Sebab, sesekali kita harus merunduk karena semak atau batang pohon yang tumbang, kadang kita harus memanjat, atau melompatinya. Panjang jalur ini, hampir sama dengan pos satu. Oh iya, di Pos dua ada aliran sungai. Dan airnya layak untuk diminum.
Menuju pos tiga, jalur sedikit lega. Hampir seperti pos satu. Jalan menanjak, tapi dengan hutan dan pepohonan yang berbeda. Jalur menuju pos tiga sedikit lebih pendek. Ada mitos yang berkembang diantara para pendaki. Jika melewati jalur ini. Hindari memakai pakaian berwarna merah. Sebab itu bisa memancing “Noniq” (nama arwah yang berkeliaran di pos tiga) menampakkan diri. Tentu, itu sangat tidak diharapkan muncul. Karena sangat bisa mengganggu perjalanan kamu.
Dari pos tiga menuju pos empat. Jalur semakin terjal. Tak ada turunan sama sekali. Pohon – pohon dipenuhi lumut. Ini disebabkan karena punggung gunung yang menghalangi cahaya matahari saat siang hari. Ditambah kelembapan udara yang sangat tinggi.butuh sekitar empat puluh sampai enam puluh menit untuk menyelesaikan jalur ini.
Dari pos empat. Tidak ada lagi belas kasihan. Alam semakin liar melahap kamu, yang jika sejak awal tidak siap dengan semua kemungkinan. Jalur semakin terjal. Dan kita bisa menemukan lumut disetiap pohon. Butuh 60 menit, mungkin lebih, untuk menyelesaikan jalur ini. Saat itu, kami menyelesaikan jalur dari pos nol sampai lima, sekitar lima jam.
Ada yang berkata : “kita, manusia. Ibarat sebuah cemilan renyah. Yang setiap saat akan dilahap dengan rakus oleh mulut – mulut alam yang berlendir.”
Sampai di pos lima. Kami langsung merapat pada bivak yang didirikan teman – teman Kunrapala yang lebih dahulu sampai. Sekadar menikmati seduhan kopi dibawah terik mentari siang itu. lalu kami membuka tenda. beristirahat, hingga matahari menyingsing esok. Sembari menyimpan tenaga, bersenda gurau, dan memandangi karunia Tuhan yang terhampar.
Malam datang bersama rembulan yang tenang. Lalu, tubuh yang sudah terbiasa menahan dingin tanpa pelukan. Harus pasrah, dipeluk kabut yang membawa dingin.