Anak gadis saya yang bungsu, cerita soal pengalamannya di awal2 kuliah di Makassar sebulan terakhir ini. Sebagai hasil "produksi" anak rantau yang lahir di Jakarta, dia terkadang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang2 sekitarnya, terutama jika menggunakan bahasa daerah lokal, Bugis atau Makassar.
Sebagai hasil "produksi" anak rantau yang lahir di Jakarta, dia terkadang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang2 sekitarnya, terutama jika menggunakan bahasa daerah lokal, Bugis atau Makassar.
Contoh kecil, ketika berangkat kuliah di pagi hari. Dia memilih angkutan "Bentor" (Becak Motor) yang praktis, lebih cepat, dan sedikit eksklusif-lah menurut dia.
Awal2 "berbentor-ria", dia dikenakan tarif sebagai orang pendatang, kaum urban, lebih mahal, karena dianggap anak Jakarta, atau mungkin dikira orang yang buta soal kota Makassar.
"Jarak dekat aja, sampai bayar Rp20.000-30.000, deh pak," katanya.
Pagi ini dia menelpon dari Makassar. Lapor kalau naik Bentor lagi, tapi bayarnya sudah beda. Tidak lagi Rp20.000-30.000, tapi dengan tarif biasa, Rp10.000,- layaknya orang asli kota Makassar.
"Kenapa bisa murah begitu, Dek?," tanya saya.
Dia ketawa, seolah merasa menang lomba.
"Adek coba2 nekat pake logat Makassar aja pak, kayak ngomongnya temen2 kampus. Adek bilang, 'jangki mahal kodong, sepuluh ribumo na Daeng?".
"Oh iya, bisaji sepuluh ribu ka anak sekolahjako, naik mako paleng," kata Daeng Bentor.
Beberapa saat, komunikasi terputus.
Saya yakin, si Adek pasti kehabisan pulsa.
Sebentar lagi dia pasti ngirim SMS, "Pak, kirimin pulsa dong. Uang jajan Adek sudah menipis, LABBUSU'MI (sudah habis, bhs Makassar)".
"Cepat amat sih Dek, diirit dong, jangan boros", balas saya.
"Ya, maklum aja pak, Adek ini mahasiswa PACCE KODONG (miskin, melarat)". Adek...Adek...
****
Sementara itu di Jakarta, BBM atau bensin premium jadi langka di SPBU. Saya membayangkan, pasti akan ada alasan klasik bagi daeng bentor di Makassar menaikkan tarif angkutan bentornya.
Bensin langka di pasaran misalnya, atau berdalih bahwa mereka terpaksa harus membeli bensin pertamax yang mahal itu.
"Maaf pak, tambahin dong ongkosnya, " kata tukang ojek yang kutumpangi  hari ini.
"Bukannya tarifnya sudah biasa dari kemarin-kemarin," kata saya.
"Gak pak, bensin sekarang menghilang, sudah beberapa SPBU tutup, jadi wajar kalau ongkos ojek minta ditambah," katanya sambil tersenyum.
Owalah.... saya tiba2 teringat dengan putri bungsuku di Makassar. Ia pasti harus menarik koceknya dalam-dalam ketika membayar ongkos transpor, ya sebagai konsekuensi logis langkanya BBM di tanah air, termasuk yang dialami  para tukang ojek di Jakarta atau  si Daeng Bentor di Makassar, hehehe...
Salam: Nur Terbit