Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Pasien BPJS, Perjuangan Panjang ke Rumah Sakit

17 Desember 2014   01:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 129 0
Sebuah perjalanan panjang yang berliku-liku yang harus dijalani oleh putriku, Siti Harfiah Nur, 19 tahun, sebagai pasien BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Berangkat dari Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan menuju kamar operasi di rumah sakit RSUD Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Tidak pernah terbayangkan, ketika 2 tahun lalu dengan penuh suka cita saya membawanya pulang kampung ke Makassar karena lulus diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di sana. Rupanya dari sinilah cerita perjalanan panjang itu bermula. Tiba-tiba putriku merasakan ada benjolan kecil di bagian dada kanan, persis di atas puting payudaranya. Mula-mula ia merasakan nyeri, pegal, nyut-nyutan, keram lalu tangan kanannya mulai sulit digerakkan. Bahklan untuk menulis SMS via HP pun tangannya terasa pegal. Belakangan ia sempat pingsan di ruang kuliahnya. Teman-temannya segera membawanya pulang ke tempat kost. Keluarga pun panik. Diagnosa dokter di RSUD Daya Makassar, ada tumor jinak yang berpotensi jadi kanker. Sementara di Jakarta, tak ada hujan tak ada petir, tapi yang terasa ada gempa menyelimuti hati kami orang tuanya. Ibunya tak henti-hentinya menangis. Kami pun berbagi tugas. Saya memutuskan menjemput sang putri ke Makassar, sementara ibunya mengurus kartu BPJS di Kota Bekasi -- yang astaga -- sempat berhari-hari ikut antrean dengan segala perjuangannya, hingga kemudian berhasil memperoleh kartu BPJS. Menurut cerita istri saya, selama antre untuk mendapatkan kartu BJPS itu, percaloan pun marak di tengah warga lainnya dengan susah payah antre sejak pagi buta, bahkan ada yang sudah datang sejak pukul 03.00 dini hari. Seorang calon menawarkan “jasa” mengurus kartu BPJS dengan biaya Rp300.000/kartu keluarga. Mereka menjamin tak perlu antre, satu hari kartu sudah jadi. Bagaimana ceritanya ya? Yang antre saja berhari-hari belum tentu dapat kartu, ini lewat calo cuma sehari? Saya kemudian sadar. Jadi pasien BPJS itu, ternyata perlu perjuangan fisik dan mental serta pengorbanan materi. Seorang teman Facebooker, malah menambahkan diperlukan satu lagi: perlu kesabaran. Kekuatan fisik diperlukan dimulai saat antre mengurus kartu, dilanjutkan saat mendaftar sebagai calon pasien di rumah sakit hingga antre kamar rawat inap. Mental baja juga diperlukan menghadapi segala macam "cobaan dan ujian" yang mungkin muncul selama dirawat. Sedang modal materi perlu disiapkan karena sewaktu-waktu akan ada "biaya tak terduga". BPJS memang bisa atasi masalah sesaat tapi bukan solusi Seorang teman Facebooker, Amy Jv, mengoementari, “Ga semudah omongannya Jokowi pamer2 kartu. Seharian buang2 waktu antri di rumah sakit kalau pake BPJS”. Ini kemudian ditimpali teman FB lainnya, Mery Izwandi.“Yang bayar iuran aja sulit diurus ya, Bang Nur? Gimana 3 kartu sakti yang gratis katanya buat orang susah dan kurang pendidikan, bisa-bisa koit di UGD. Ini fakta dan teori, suka beda 180 derajat”. Benar juga kata salah satu keluarga saya yang juga teman facebooker: Takbir Azis. BPJS itu diplesetkan menjadi “Butuh Perjuangan Juga keSabaran” #BPJS#. *** Seminggu kemudian, saya dan sang putri tiba di Jakarta Rabu (10/12/2014) malam hari. Maka pagi hari, Kamis (11/12/2014), segera saya bawa ke puskesmas terdekat untuk memperoleh surat keterangan rujukan. Satu jam kemudian, lanjut ke RSUD Kota Bekasi untuk antre dan mendaftar sebagai pasien BPJS. Karena sudah siang, putriku dapat antrean sebagai pasien dengan nomor urut 913. Ratusan orang calon pasien, di antaranya adalah pasien BPJS, juga sudah menunggu antrean nama mereka dipanggil petugas. Siang hari barulah putriku dapat giliran diperiksa oleh dokter bedah. Saran dari dokter: harus segera dioperasi. Kami pun bergegas mencari kamar rawat inap. Semua kamar ternyata “full house” alias penuh. Usai Magrib, ternyata ada pasien yang sudah harus pulang. Akhirnya dapat juga kamar. Belakangan saya baru tahu bahwa itu kamar kelas II, padahal BPJS fasilitas kelas I yakni Ruang Tulip, lantai 4 kamar 406. Tak ada pilihan lain. Seorang ibu setengah umur, menghampiri saya di bagian loket perawatan. Dia mengaku sudah 3 hari bolak-balik ke rumah sakit tapi belum juga dapat kamar kosong. “Bapak koq bisa dapat kamar? Bayar ya pak?,” bisiknya pelan. Lalu saya menjelaskan bahwa ini faktor kebetulan. Putriku dan keluarganya berbeda fasilitas BPJS-nya, juga penyakit yang dideritanya jadi tidak bisa pasien dicampur begitu saja dengan pasien lain dalam satu kamar. Gossip yang berkembang hari itu, ada keluarga pejabat, juga ada keluarga anggota dewan, dapat fasilitas kamar dengan mudah. Gosip lainnya ada yang menuduh oknum petugas terima “tip” dari keluarga pasien agar dapat kamar. Sayangnya, saya belum sempat melakukan konfirmasi sehingga informasi miring tersebut saya tampung saja. Suatu saat saya perlu mendapatkan penjelasan resmi dari pihak rumah sakit. Alhamdulillah, semua biaya operasi dan rawat inap yang mencapai puluhan juta rupiah itu, ditanggung BJPS, kecuali obat-obatan yang tidak ada di apotek rumah sakit. Terpaksa harus beli kontan di tempat lain. Saya tidak bisa membayangkan dari mana memperoleh uang sebanyak itu dalam waktu singkat, jika menggunakan fasilitas sebagai pasien umum, bukan dari BJPS? Esok pagi (Jumat 12/12/2014) pukul 09.00, putri saya kemudian berhasil menjalani operasi. Alhamdulillah berjalan lancar. Saat ini "si buah hati" sudah pulang ke rumah melewati masa kritis dan pemulihan kesehatannya. Rencana, begitu pulih kesehatannya, ia harus segera kembali ke Makassar menyusul teman2nya yang sudah lebih dahulu mengikut ujian semester. Kepada seluruh keluarga, teman, facebooker, blogger, para perawat dan dokter RSUD Kota Bekasi -- yang tak mungkin disebut satu-persatu namanya dan telah memberikan perhatian maupun doanya -- kami sekeluarga mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas budi baik kalian semua. Amin. Bekasi, Selasa 16/12/2014 @Nur_TERBIT

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun