Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Menghilangkan Budaya “Kekerasan”

5 Juni 2015   15:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 44 0

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan dengan peristiwa yang membuat miris serta memalukan berupa terjadi aksi adu jotos dua wakil rakyat pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu, 8/4. Kejadian adu jotos tersebut berlangsung di samping ruang rapat komisi VII yang terjadi pada petang menjelang magrib sebagaimana diberitakan di  Pikiran Rakyat, 9/4 dan media lainnya.

Kejadian tersebut dipicu salah seorang anggota komisi VII merasa tersinggung saat ditegur oleh pimpinan komisi karena terlalu lama bicara ketika menyampaikan pertanyaan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said. Pimpinan Komisi VII mengingatkan bahwa mengacu Tatib DPR setiap anggota DPR mendapatkan jatah bicara 3 menit. Selain itu, jika tidak mematuhi Tatib, pimpinan komisi dapat mengeluarkan dari forum rapat kerja tersebut.

            Berita tersebut tentu menjadi bahan perbincangan yang menarik, karena sejatinya anggota DPR harus merefleksikan kinerja yang positif bagi rakyat bukan mempertontonkan perilaku yang negatif sehingga hal itu menjadi peristiwa yang dapat mencederai amanah rakyat.

            Dalam konteks pendidikan, peristiwa tersebut menjadi pembelajaran penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, sudah saatnya bangsa ini tidak memosisikan kekuatan “otot” menjadi panglima dalam menyelesaikan masalah. Apalagi para pendahulu bangsa ini, telah mewariskan etika yang menjadi acuan bagi generasi bangsa dalam bermasyarakat seperti; saling menghormati/tenggang rasa, gotong royong,  santun, meminta maaf, memaafkan, serta perilaku positif lainnya.

            Sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan religius, tentu peristiwa tersebut menjadi bahan refleksi bersama. Sehingga setiap persoalan tidak semestinya diselesaikan dengan “kekerasan”. Apalagi budaya “kekerasan” saat ini menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kekerasan berupa perkataan (verbal) maupun kekerasan berupa fisik.

            Melihat gejala sosial seperti ini, menjadi pelajaran penting khususnya bagi dunia pendidikan. Persoalan ini bukan berarti saling menyalahkan, akan tetapi menjadi penguat bahwa lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun karakter bangsa. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas Bab II bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis sertabertanggung jawab.

            Untuk melaksanakan hal itu, perlu adanya sinergitas yang baik antara stakeholders di antaranya; orangtua, masyarakat, guru, dan pemerintah untuk bersama-sama membangun generasi berakhlak mulia sebagaimana tercantum dalam regulasi pendidikan tersebut. Adapun secara teknis, dapat diwujudkan dengan sikap saling menghormati, memberikan keteladanan, mentaati aturan, silih asah, silih asih, dan silih asuh (dalam karakter  masyarakat Sunda), serta perilaku positif lainnya.

            Atas dasar tersebut, peristiwa “adu jotos” anggota DPR memberikan pelajaran penting bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para pengelola lembaga pendidikan khususnya, untuk sejenak merenung dan memperhatikan nasib bangsa ke depan. Lembaga pendidikan memiliki andil dalam membangun generasi yang berakhlak mulia. Dengan demikian, diharapkan perilaku “adu jotos atau kekerasan” tidak menjadi budaya di negeri ini. Semoga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun