Waktu itu awal Januari tahun 1993, musim hujan sedang pada puncaknya. Hari Jumat sore, kami berjumlah 20 orang siswa Latihan Dasar Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam sedang bersiap untuk diberangkatkan ke medan latihan di kawasan Gunung Penanggungan (1.653 mdpl). Sebelum terjun ke medan latihan sesungguhnya, kami sudah dibimbing oleh panitia berupa teori kegiatan alam terbuka dan latihan fisik di kampus selama hampir satu semester.
Bagi mahasiswa pada umumnya, kami dinilai tidak lazim. Disaat yang lain menikmati libur akhir semester gasal, kami malah memilih mengikuti kegiatan yang “menyiksa fisik dan mental” seperti latihan dasar pecinta alam ini. Masing-masing dari kami memiliki motivasi sendiri untuk ikut kegiatan latihan dasar pecinta alam. Namun sebagai besar sepakat dengan ikut kegiatan latihan dasar adalah sarana mengukur kemampuan diri dan menggembleng fisik dan mental untuk siap dalam situasi dan kondisi apapun juga.
Dengan bus kampus kami berangkat ke lokasi latihan. Saat kami tiba di kaki G. Penanggungan hari sudah malam. Kami dikumpulkan di lapangan sekolah dasar di desa Tamiajeng, yang masuk wilayah Trawas Mojokerto. Oleh panitia kami dibagi menjadi beberapa regu. Rupanya tahap pertama latihan dasar ini dibuka dengan mendaki gunung ke puncak G. Penanggungan. Tiap regu dilepas dengan interval waktu tertentu. Mendaki di waktu malam kami lakukan dengan penerangan lampu senter yang sudah disiapkan masing-masing siswa. Jalur pendakian telah diberi tanda petunjuk arah oleh panitia yang jika terkena sinar senter akan terlihat berkilau. Namun kewaspadaan dan kehati-hatian harus terus dijaga oleh tiap anggota regu.
Menjelang fajar, sedikit di bawah puncak, kami dihentikan oleh panitia. Hujan gerimis dan angin sangat kencang. Melihat kondisi seperti ini, kami diminta untuk beristirahat dengan membuat bivak ponco (tenda dari jas hujan) secara beregu. Dibutuhkan kerjasama yang baik untuk mencari tempat (shelter) yang pas untuk mendirikan bivak ponco, apalagi dalam kondisi gelap, hujan dan angin kencang. Dalam tiap regu secara alami ada yang dominan menjadi leader, dan yang lainnya follower yang melaksanakan komando leader dengan tangkas.
Saat kami beristirahat sambil makan makanan kecil, kami baru tahu kalau ada satu regu yang tersesat, karena regu ini tidak pernah melewati satu pos yang harusnya dilewati oleh semua regu. Kami hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada regu tersebut. Dari balik bivak kami mendengarkan para panitia berkomunikasi dengan tim rescue yang memang sudah disiapkan.
(bersambung)…