Bulog melaksanakan program subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, khususnya beras. Langkah ini krusial di tengah fluktuasi hasil pertanian akibat faktor cuaca dan bencana alam. Selain itu, Bulog membeli beras dari petani dengan harga wajar dan menjualnya kembali ke pasar dengan harga terjangkau. Strategi ini efektif menjaga inflasi sektor pangan tetap terkendali.
Bulog juga menangani kebijakan ekspor dan impor bahan pangan. Ketika pasokan domestik terganggu, Bulog mengimpor bahan pangan untuk menjamin ketersediaan tanpa merugikan petani lokal. Kontribusi Bulog dalam menjaga ketahanan pangan di era Soeharto dikenang sebagai salah satu penopang stabilitas sosial dan ekonomi.
Setelah runtuhnya Orde Baru pada 1998, Bulog mengalami perubahan besar dalam struktur dan fungsi. Saat ini, Bulog berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan fungsi komersial yang berbeda dibandingkan era sebelumnya.
Namun, di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, wacana transformasi Bulog kembali mengemuka. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa Bulog akan diarahkan menjadi lembaga non-komersial untuk memaksimalkan perannya sebagai stabilisator pangan, serupa dengan masa kejayaan di era Soeharto.
Menurut Zulkifli Hasan, transformasi Bulog diperlukan untuk mendukung target swasembada pangan pada tahun 2027 guna mencapai swasembada pangan,
Wacana ini juga mendapat perhatian dari AriSumarto Taslim, pemerhati sosial. Ia menilai bahwa pengelolaan Bulog di bawah kendali langsung Presiden dapat memperkuat ketahanan pangan, memperbaiki distribusi logistik, dan menjaga stabilitas harga pangan. Dengan pengelolaan yang lebih terpusat, Bulog diharapkan lebih tangguh menghadapi tantangan global dan domestik, termasuk ancaman krisis pangan.
Saat ini, pembahasan transformasi Bulog terus dilakukan secara intensif. Jika terealisasi, langkah ini menjadi babak baru dalam sejarah lembaga yang telah berperan besar dalam perekonomian Indonesia selama beberapa dekade.