Sungai ini menjadi saksi perjalanan Jakarta dari sebuah kota kecil hingga menjadi metropolitan. Di sepanjang alirannya, masyarakat tempo dulu biasa mandi, mencuci, hingga mencari ikan.
Dulu, Ciliwung itu sangat jernih. Anak-anak  sering berenang, airnya segar sekali.
Namun, seiring bertambahnya populasi dan pesatnya pembangunan, Ciliwung mulai terabaikan. Pencemaran dari limbah rumah tangga dan industri menjadikan sungai ini sebagai salah satu yang paling tercemar di Indonesia.
Pada tahun 1990-an, kondisi Ciliwung mulai mencapai titik kritis. Sampah plastik, limbah pabrik, dan tumpukan rumah liar di sepanjang bantaran sungai menambah beban berat bagi kelestarian Ciliwung.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan kejayaan Ciliwung. Salah satu inisiatif terbesar datang dari gerakan lingkungan, Â yang secara rutin melakukan aksi bersih-bersih sungai.
Selain itu, pemerintah juga telah meluncurkan beberapa proyek normalisasi sungai, seperti pembangunan tanggul dan perbaikan drainase untuk mengurangi banjir yang sering melanda Jakarta. Meski begitu, hasilnya belum terlihat maksimal. Sungai Ciliwung tetap menjadi salah satu titik kritis saat musim hujan tiba, sering kali meluap dan menyebabkan banjir besar.
Kisah Ciliwung adalah gambaran bagaimana alam yang dulunya memberikan kehidupan, kini justru menjadi korban perkembangan zaman. Banyak yang berharap Ciliwung dapat dipulihkan, bukan hanya demi lingkungan, tetapi juga untuk menjaga warisan sejarah dan budaya Jakarta.
Revitalisasi Ciliwung bukan sekadar soal sungai yang bersih, tapi juga soal merawat kenangan dan menjaga masa depan.