Pesan masuk, seorang alumni lulusan sekolah tempat saya mengajar menanyai kabar. Pesan itu langsung dibalas, saya menyampaiakan suasana hati ini yang sedang baik-baik saja. Emotikan senyum juga dikirim sebagai balasan ke-dua, untuk menguatkan pesan pertama.
Percakapan berlanjut, tak hanya tentang  kabar gurunya yang ia tanyakan. Banyak hal yang juga disampaikan jelang lembayung mulai terlihat di ufuk sebelah barat. Di antara kabar yang ia sampaiakan adalah tentang problematika hidup di rantau yang jauh dari keluarga. Kabar lain yang juga dilontarkan adalah tentang mata kuliah yang tak optimal dikuasi. Hal itu membuat nilai A tak kunjung diraih.
Baginya, perjuangan hingga berada di posisi ini tidak mudah. Banyak sekali yang ia dan keluarganya korbankan. Tapi itulah perjuangan, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Orangtuanya harus menjual kambing, ayam, dan satu petak sawah warisan dari kakeknya. Sawah yang menjadi sumber penghasilan keluarga, rela dijual ayah, demi cita-cita anaknya.
Kami terus berbalas pesan, senyum hingga tawa hadir kala membaca pesan balasan yang masuk.
Obrolanpun mulai terjeda, sepertinya tema telah habis di bahas. Meski tema nyaris tak tersisa, tetapi kopi masih ada beberapa seruput lagi. Ketika kopi hampir habis, di situ akan semakin terasa nikmat.
Semakin sore saja, hingga langitpun nampak berubah warna. Sudah tak ada lagi notifikasi pesan. Terdiam, fikiran ini menerawang ke belakang dengan hp masih di genggaman. Saat dia masih duduk di bangku SMP, kami selalu berdiskusi dibanyak kesempatan. Diskusi tentang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Atau saat dirinya merasa bosan mengikuti pelajaran di sekolah. Bosan karena banyak materi yang sudah dipelajari, tetapi masih saja kurang dikuasai. Akibatnya nilai yang didapatkan rendah.
Masalah itu yang kadang membuatnya malas untuk melanjutka sekolah ke SMA setelah menyelesaikan belajar di bangku SMP. Kondisi itu membuat saya berfikir keras, agar ia berminat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Saat itu, saya sampaikan bahwa kemampuannya menerima pelajaran tidak optimal, tetapi ia bisa terus naik kelas. Setahum di kelas 7 ia naik ke kelas 8. Kemudian dari kelas 8, ia naik ke kelas 9.
"Dan nanti, saat pengumuman kelulusan, kamu pasti lulus." Saya terus menguatkannya.
Akhirnya ia melanjutkan sekolah, saya memintanya agar disiplin, selalu masuk sekolah, dan berlaku sopan kepada guru-guru. Hasilnya iapun lulus dari SMA, dan sekarang sedang menyelesaikan kuliah.
Lain murid, lain sikap dan kebiasaan. Ada sepuluh murid, ada sepuluh sikap dan karakter. Sebut saja Mawar, murid yang pintar, dan rajin. Peringkat kelas bagus, cakap, rajin, dan percaya diri. Sejak Mawar naik ke kelas 9 ia semakin menunjukan semangat belajar.
Saya jarang sekali mendorongnya agar melanjutkan sekolah, karena yakin Mawar akan masuk SMA setelah lulus SMP nanti. Saya hanya menyemangati dia mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Saya hanya mengajari soal yang ia tak faham cara menjawabnya.
Hari ini ia tak melanjutkan sekolah, rutinitas hariannya hanya mengaji. Saat saya tanya lewat pesan singkat, mengapa tak melanjutkan sekolah?.
"Ceuk Ema kamimah ngobong bae, ema teu boga biaya ceunah"
Secara ekonomi keluarga, saya melihat bapak dan ibu Mawar mampu menyekolahkan anaknya, apalagi sekarang sekolah di SMA geratis. Jika alasannya pakaian, di rumahpun Mawar harus berpakaian. Jika alasannya jajan, di rumahpun anak seusinya masih ditanggung jajannya oleh orang tua.
Saya salah prediksi, terlihat pintar dan mampu, tetapi motivasi melanjutkan sekolahnya rendah. semoga kesalahan itu tidak terulang lagi di tahun ajaran ini.