Dapat dipastikan pula suara PKS menjadi daya tarik tersendiri bagi pasangan Foke – Nara dan Jokowi – Ahok. Apa alasannya? Pertama, suara PKS jika dialihkan bisa mendongkrak suara mereka pada putaran kedua nanti. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survey di Indonesia jumlah pemilih yang memilih pasangan yang diusung PKS mencapai 11 persen lebih sehingga menempatkan pasangan HNW – DJR berada diposisi ketiga berada dibawah Foke – Nara yang memperoleh 34 persen lebih dan Jokowi – Ahok 42 persen. Sisanya 13 persen lagi tersebar pada kandidat lain yakni Faisal – Biem calon independent, Alex – Nono calon gubernur dari Partai Golkar dan PPP dan Hendarjdi – Reza calon independent.
Jika kita menghitungnya secara matematis, Foke – Nara bisa mencapai 45 persen dan sebaliknya Jokowi – Ahok akan meraih 53 persen jika mendapatkan dukungan dari PKS. Kedua, militansi kader PKS. Dibandingkan dengan partai lain, PKS memang terkenal dengan militansi kadernya, terbukti kendati HDR – DJR adalah tokoh yang baru dimunculkan pada Pemilukada DKI Jakarta, kader-kadernya bisa bekerja secara maksimal walau memang belum begitu memuaskan.
Dua alasan di atas barangkali cukup kuat untuk memberikan alasan mengapa kemudian PKS menjadi daya tarik tersendiri untuk kedua kandidat yang bertarung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua. Namun, tentunya antara Foke – Nara dan Jokowi – Ahok hanya bisa berusaha untuk memikat hati elite PKS, soal keputusannya jelas PKS punya mekanisme syuro untuk menentukan siapa calon gubernur yang akan mereka dukung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua.
Dilema PKS
Ini jelas pilihan yang tidak mudah bagi PKS. PKS harus mempertimbangkan matang-matang dan manfaat apa yang diperoleh ketika mereka memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Menurut penulis, PKS dihadapkan dengan beberapa tantangan yang akan menjadi pertimbangan para elitenya. Penulis membaginya dalam dua hal yakni tantangan internal dan tantangan eksternal.
Secara internal, PKS akan dihadapkan dengan beberapa masalah pada dewan syuro nanti. Penentuan sikap yang keliru dan kurang hati-hati jelas bisa membuat kader PKS semakin tidak solid. PKS yang cenderung menggunakan prinsip-prinsip syariah Islam dalam menentukan calon dukungan kepemimpinan tentu akan tergerus pada isu apakah boleh mendukung pasangan calon yang jelas-jelas terdiri dari kalangan non muslim. Sebut saja Ahok yang mendampingi Jokowi notabenenya non muslim. Akan tetapi, ijtihad politik PKS ketika mendukung Jokowi sebagai walikota Solo dan berpasangan dengan wakilnya yang non muslim tentunya akan bisa digunakan kembali, walaupun tetap saja itu mengalami resiko dan resistensi di kalangan internal kader PKS.
Secara eksternal, pemberitaan media yang mengarahkan PKS sebaiknya memilih Jokowi dalam sikap politiknya pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua nanti dan silaturahim Jokowi kepada Hidayat Nur Wahid saat pemilihan pada 11 Juli 2012 kemarin sedikit banyak bisa mempengaruhi keputusan PKS untuk memilih yang mana. Opini publik yang terlanjur mengarah pada Jokowi tentu memang menjadi pertimbangan dan jebakan pilihan tersendiri bagi PKS, disamping PKS juga harus mempertimbangkan suara masyarakat DKI Jakarta jika tidak ingin kehilangan muka pada Pemilu 2014 nanti karena jelas PKS punya kepentingan di sini.
Membaca Kecenderungan
Nah, kemanakah suara PKS? Ini menjadi pertanyaan yang menarik dari tadi. Melihat kecendrungan-kecendrungan yang ada jelas akan terjadi diskusi dan tawaran-tawaran politik antara elite PKS dan tim sukses atau partai pengusung dua pasang calon gubernur yang bertarung pada Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua. Terlihat pasca pemilihan putaran pertama, melalui pemberitaan media massa diberitakan, Foke langsung silaturahim ke DPP PKS sementara Jokowi juga segera mengambil tindakan cepat silaturahim ke Hidayat Nur Wahid.
Menurut penulis, antara Foke dan Jokowi masing-masing punya kepintaran dalam melobi. Foke seolah-olah tahu dengan keputusan PKS yang tidak pernah mengambil keputusan secara individu, tapi berdasarkan syuro atau musyawarah melobi dewan syuro dan secara resmi datang ke kantornya. Sementara, Jokowi yang tahu HNW adalah salah satu tokoh sentral di PKS langsung saja melobi dan melakukan manuver opini ke masyarakat bahwa HNW secara tidak langsung punya hubungan dekat dengannya dan dipastikan akan mendukungnya. Nah, jelas relatif sulit membaca kencendrungan-kecendrungan ini. Hanya dewan syurolah yang berhak untuk memutuskannya.
Namun, apapun pilihannya, jelas masyarakat Jakarta menginginkan perubahan yang lebih baik. Perubahan yang lebih baik itu bukanlah serta merta pemimpin yang baru atau bukan, tapi bagaimana dengan integritas dan niat calon seorang pemimpin untuk melakukan perubahan karena bicara tentang Jakarta yang punya masalah yang cukup komplek tidaklah semudah seperti apa yang kita pikirkan dan bayangkan. Perlu strategi khusus dan kepemimpinan yang kuat (strong leadhership) untuk mewujudkannya. Semoga dengan pilihan-pilihan politik yang ditentukan Parpol bisa membuat Jakarta lebih baik. Semoga!
*)Opini telah dimuat di www.okezone,com, Selasa, 17 Juli 2012 - 11:17 wib
**)Mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Riau (UR) dan Direktur Gerakan Kepulauan Riau Gemar Menulis (GKGM)