Tengah hari baru saja berlalu. Tapi cuaca begitu redup, awan kelabu menggelayut di langit sebelah timur. Udara dingin menyusup melalui sela-sela daun mangga di halaman. Aku berjalan hilir mudik dari kamar, ruang tamu lalu ke beranda. Begitu berkali-kali, tapi tak juga tahu harus melakukan apa. Perasaan ini makin gelisah ketika pandang mataku menangkap rintik-rintik air turun dari langit. Dua jam berlalu sejak dia pergi. Teringat kembali kata-katanya tadi, "Terserah?.... Ok!" Dan dia berlalu begitu saja, meninggalkanku yang menatapnya nanar. Permasalahannya sekarang bukan lagi pada soal dia akan kemana, tapi karena aku tak tahu kapan dia akan pulang. Nanti malam, esok ataukah.... Ah, jangan-jangan dia tak kan kembali!? Hatiku ciut, perasaanku mulai kacau dan pelupuk mataku memanas. Telah dua bulan kami menjadi pasangan, menikmati hari-hari di perantauan ini dan selama itu pula dia tidak pernah acuh padaku. Kalaupun sedang jengkel atau tidak sreg dengan tingkahku biasanya dia cenderung diam dengan raut wajah datar. Tapi hari ini sungguh berbeda. Hanya karena aku merajuk tidak membolehkannya pergi, dia jadi gusar. Barangkali aku juga keterlaluan sehingga membuatnya hilang kesabaran. Dengan halus ia minta ijin padaku tapi aku bersikukuh tak membolehkan. Entah mengapa aku tidak suka dia akan pergi, aku pikir dia mementingkan dirinya sendiri dan kekanak-kanakan. Aku bertanya dalam hati, masih pantaskah perilakunya itu? Sementara kami akan segera menimang bayi. Yah, beberapa bulan lagi dia akan menjadi bapak.
Tiba-tiba kepalaku pening, perutku terasa mual dan pandanganku berkunang-kunang. Kuambil nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Sejenak pikiranku menjadi lebih tenang. Aku berharap suamiku segera datang. Setiap kali terdengar suara mesin motor mendekat, buru-buru aku melongokkan kepala, berharap dia yang muncul. Tapi 30 menit berlalu aku hanya mendapati anak-anak kost lain yang satu per satu menyapaku dengan sedikit heran, karena tidak biasa-biasanya aku duduk seorang diri di beranda.
KEMBALI KE ARTIKEL