Tak ada pada azalinya kejadian yang tak berujung simpuh di kaki TUHAN.
Kekuatan pria ada tatkala membutuhkan kelemah lembutan.
Kuaminkan mutiara pintamu cinta.
Redup jiwa ini tanpa pelita di senyummu..
. Letih sandiwara hidup tanpa rangkul dikau diseperjalanan. Usap air mata walau suburkan hatiku. Menangislah ketika aku bahagiamu. Terdiamku tiada sanggup meminta karena Tuhan puntau, Adam enggan di sorga karna hawa belum tercipta di dalamnya. Jaga hati.... jangan hati hati
.
Ranti melipat selembar kertas berwarna jingga yang ada di tangannya. Menghela nafas yang amat dalam. Dia teringat wajah tampanAnggara kekasihnya.
Delapanbulan telah berlalu. Anggara yang sedang ditugaskan belajar ke negeri Sakura meninggalkan tanah air ini. Untuk melanjutkan sekolah Kedokteran. Tulisan indah dari Anggara sebagai pelepas kerinduannya. Perjalanan mereka yang terjalin sudah dua tahun, menjadi harapan keluarga untuk sebuah keluarga yang sakinah. Mengikuti apa yang disebutkan sunahdan penyempurna ibadah.
“Kak Ranti, ada gempa dan tsunami di Jepang,” teriak Reka adik Ranti.
Ranti yang baru keluar kamar mandi tergopoh-gopoh menyaksikan berita di televisi. Tangannya bergetar. Rantihafal sekali. Gambar yang ada di tayangan televisiitu bangunan tempat Anggara melanjutkan pendidikannya. Hatinya berkecambuk, tiba-tiba tubuhnya lemas.
Beberapa detik kemudian, telepon di rumah Ranti berdering. Reka berlari mengangkatnya.
“Kak Ranti, telepon dari bunda,” kata Reka.
Bunda adalah pangilan Ranti dan Reka kepada ibunda Anggara.
“Ranti, doakan Angga baik-baik ya, Nak. Bunda dan kami semua masih berusaha menghubungi Angga,” kata bunda Angga dengan was-was dan sesekali terdengar isakan khawatir.
“Iya Bunda,” Ranti pun tak bisa menahan bendungan air matanya.
Reka yang berada di samping Ranti, memegangi kakaknya dengan pelukan tak kalah khawatir. Ranti menangis, airmatanya tak terbendung lagi. Tumpah dan semakin mengeras,lirih pilu terdengarnya.
Berhari Ranti mengurung diri, dalam harapnya berjuta panjatan doa tak henti dalam hatur tutur katanya.
*********
Satu minggu kemudian…
Siang itu udara cukup terik. Ranti masih mengurung diri. Enggan sekali menyapa matahari yang bersinar dengan cahayanya. Beberapa saat kemudian telepon di rumahnya berdering. Terdengar Reka berlari kecil menuju arah meja kecil di sudut ruang keluarga.
“Kak Ranti, ada telepon dari Bunda,” Reka berteriak.
Ranti keluar kamar dengan langkah gontainya. Mendekatimeja kecil di sudut ruangan. Perlahan menerima gagang telepon dari tangan Reka adiknya.
“Iya, bunda,” Ranti memulai pembicaraan.
“Sehat, Nak?” bunda Angga menyapa kembali calon menantunya.
“Ranti baik-baik, bunda,” jawabnya lirih sambil menarik nafas panjang.
“Ranti, sebentar lagi kami jemput Ranti, ya!” kata bunda kepada Ranti.
“Tadi orang KBRI memberikabar dan kita diminta datang” lanjut Bunda Angga kepada Ranti.
“Berita mas Angga, Bunda?” Ranti bertanya dengan was-wasnya.
“Entahlah…siap-siap ya, Nak!” kata Bunda pada Ranti dengan nada yang lembut.
“Baik, Bunda,” Ranti menjawabnya. Tak lama kemudian meletakkan gagang telepon ditempatnya.
Hari semakin sore. Terik matahari semakin meredup. Kegundahan dua keluarga ini tak surut juga. Tak ada perbincangan berlebih saat Ranti dan keluarga Angga bertemu. Semua memilih terdiam dalam pikirannya masing-masing. Hanya genggamantangan, pelukan kecil yang diterima Ranti saat tiba-tiba tetesan bening jatuh di pipinya.
Tiba-tiba telepon genggam Ranti berbunyi. Ranti memandang nomor yang terlihat di layar telepon genggam di tangannya. Sebaris nomor yang tidak Ranti kenal. Ranti menekan tombol berwarna hijau pada telepon genggam tersebut. Kemudian meletakkannya di telinga.
Tiba-tiba Ranti berteriak,
“Bunda…..”
Lemas seluruh tubuh Ranti saat itu. Tatapannya menguning dan gelap seketika. Semua berteriak memanggil namanya. Telepon genggam tergeletak begitu saja di samping tubuhnya. Ranti tak sadarkan diri. Wajahnya menjadi putih pucat. Semua panik dibuatnya.
Bunda yang melihat telepon Rantitergeletak mengangkatnya. Dengan sedikit ragu, bunda memberanikan diri meletakkan telepon genggam Ranti ke telinganya.
“Ranti, Ranti, Ranti…Ranti ini aku”, teriak suara di seberang sana.
“Angga???” Bunda dengan ragu menyebut nama anaknya.
“Iya, Bunda. Angga masih hidup. Ranti baik-baik Bunda?” Nada khawatir terdengar dari seberang.
Bunda terdiam. Air matanya menetes dengan seutas senyum kecilnya. Sambil membelai anak rambut di kepala Ranti.
Setelah beberapa saat berbincang dengan Angga dan mematikah sambungan selularnya, bunda membuka lembaran kertas berwarna coklat muda dari jemari lentik Ranti yang menggenggamnya.
Jejak tapak peristiwa dan rasa itu penuh misteri Tak terpahami seutuhnya indera fana tak kekal kita Kerap hari-hari kita pun terperangkap rasa gamang Tersentak menghadapi cuil pengalaman tak terduga hanya bisa dipungut makna dan petuahnya
. Apa yang tak mungkin bisa menjadi mungkin Hal yang mungkin tak jarang jadi tak mungkin Segalanya telah ditentu-letakan Sang Pencipta Kita hanya bisa beriktiar dari waktu ke waktu Berharap saja bisa bersua dengan gairah bahagia
. Menemu bekas indah dari riak-riak cerita hidup Mereguknya bersama asa rasa ikhlas, tabah, tulus Menjadikan kita sosok manusia mendekati utuh Merasakan kerekatan erat tak terpisah Menjura pada hasrat kasih tak pamrih Mari nikmati sibakan binar cerah jejak misteri kita
18.03.2011
***END***
Kolaborasi 118:d-wee - mommy - lala_sangkak - refotorai (Kwartet Rangkat)
Untuk membaca tulisan para peserta FFK yang lain maka dipersilakan mengunjungi blog Kampung Fiksi sebagai berikut: KampungFiksi@Kompasiana
Salam Fiksi-Kompasiana