Dalam permainan catur, ukuran badan tidak ada pengaruhnya. Mau postur tinggi, pendek, kurus atau gemuk sama saja. Karena yang dominan dipakai adalah otak. Berbeda dengan sepak bola. Postur tubuh besar dan tinggi turut memegang peranan. Karena sepak bola tidak hanya melulu menggunakan kaki. Tandukan kepala juga sangat menentukan untuk mencetak gol saat menerima umpan-umpan lambung.
Saya tidak mengatakan bahwa pemain yang berpostur tubuh besar lebih baik dari yang berpostur tubuh kecil. Sepakbola terlalu rumit untuk sekadar mengatakan sebuah tim kalah karena postur tubuh. Penyebab kekalahan sebuah kesebelasan jauh lebih kompleks dari itu.
Tetapi coba perhatikan negara Korea dan Jepang. Apakah postur tubuh rakyat mereka lebih besar dari rakyat Indonesia? Secara umum sama saja. Tetapi mengapa para pemain timnas mereka rata-rata berpostur besar dan tinggi? Tentu ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang berhak menyandang kostum timnas. Skill, stamina dan postur tubuh. Itu syarat dasarnya. Dan ini belum pernah diterapkan di Indonesia.
Baiklah. Kalau memang sulit untuk mendapatkan pemain yang berpostur tinggi besar, kembalikan saja kepada filosofi bermain. Negara yang memiliki perencanaan sepakbola yang baik akan lebih dahulu memiliki rancangan cara bermain seperti apa yang ingin diterapkan oleh tim nasionalnya.
Saya teringat betapa heroiknya timnas U-19 saat melumat timnas U-19 Korea Selatan dalam kualifikasi Piala Asia U-19 pada oktober 2013 yang lalu. Meski bertubuh kecil, mereka sangat lincah. Mereka juga tampil sangat militan dengan umpan-umpan pendek yang sempurna dari kaki-ke kaki. Tidak ada umpan lambung jauh ke depan kalau tidak sangat terpaksa. Stamina mereka juga sangat prima dan bermain solid di semua lini.Korea Selatan yang berpostur tinggi besar dibuat kalang kabut oleh kecepatan Evan Dimas dan kawan-kawan. Hasilnya, timnas negara gingseng itu ditaklukkan 3-2.
Dalam kualifikasi Piala Asia U-23 2016, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Indonesia kembali bertemu Korea Selatan (31/3). Kebetulan, sebagian para pemain Timnas U-19, kini berada di skuat Garuda Muda U-23. Namun tidak terlihat lagi sikap militan mereka. Penyakit lama kembali kambuh. Bermain dengan umpan-umpan panjang. Kiper juga demikian. Bola selalu dilambungkan jauh ke depan yang dengan mudah dimentahkan oleh pemain belakang Korsel yang bertubuh tinggi. Ball possesion hanya sesekali terlihat. Semangat memang masih ada tetapi tidak dibarengi dengan kondisi fisik prima. Akibatnya pemain mengalami kram dilapangan. Hasilnya sudah kita ketahui. Timnas -23 asuhan Aji Santoso ini diremukkan timnas U-23 Korea dengan skor telak 4-0.
Sayangnya, sistem kreativitas kolektif yang dikembangkan pelatih Indra Sjafrie di timnas U-19 ini kembali masuk keranjang sampah karena timnas Indonesia kalah tiga kali diputaran final Piala Asia (AFC) U19 di Myanmar.
Apa Yang Seharusnya Dilakukan?
Membicarakan sepakbola Indonesia akan menjadi pembicaraan panjang yang tidak berujung. Tetapi intinya, penting bagi negara untuk turun tangan membantu menyusun perencanaan sepak bola Indonesia termasuk filosofi cara bermainnya.
Bagaimana memilih pola permainan yang paling cocok bagi orang-orang Indonesia. Kemudian proses seleksi pemain dan proses pembinaan bibit-bibit muda. Kompetisi yang teratur disemua lini usia. Semua harus dilakukan berdasarkan rancangan yang sudah disusun dan dibuat baku.
Melihat postur tubuh rata-rata pemain Indonesia yang tidak besar sebenarnya tidak melulu harus dilihat dari sisi negatif. Pelatih Indra Sjafrie paling tidak sudah membuktikannya. Postur tubuh kecil memungkinkan pemain Indonesia untuk bergerak lebih lincah dibandingkan dengan pemain-pemain yang berpostur besar. Jadi apa yang harus dilakukan? Patuhi saja filosofi cara bermainnya. Sesederhana itu.
Foto:detikSport/Mohammad Resha Pratama