Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Teologi Keadilan

6 Maret 2015   21:42 Diperbarui: 14 Juni 2016   11:29 536 1


“Teologi apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan kajiannya dengan persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), maka teologinya lambat laun akan menjadi out of date”(M. Amin Abdullah)

Memperbincangkan teologi bukan hanya milik satu dua agama, namun perbincangan tentang teologi yang dimaksud adalah teologi yang dapat memberikan sumbangan riil atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat secara umum. Maka tidaklah heran pada akhirnya muncul istilah teologi fikih, teologi seksual, teologi pembebasan, teologi solidaritas dan sebagainya. Teologi yang memiliki istilahnya sendiri tidak datang serta merta namun biasanya hadir karena selain sebagai terobosan dalam beragama juga karena adanya kejadian riil, urgentdan menuntut penyelesaian. Dalam pandangan Nurcholis Madjid teologi datang untuk menetralisir orientasi hukum (agama) yang kelewat kaku dalam melihat dan memutuskan sesuatu tanpa memperhatikan latar belakang. Atau kalau dipahami menggunakan kalimat lain, beragama dengan cara kaku dapat melahirkan pandangan dan keputusan yang kaku pula.[1]

Teologi yang dimaksud disini tidak harus selalu memperbincangkan persoalan ritual. Namun  lebih pada bagaimana peran agama-agama melihat persoalan sosial, sebut saja misalnyakekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan. Dari sinilah tuntutan terhadap peran agama semakin kuat untuk dapat memberikan semacam tawaran-untuk tidak menyebut solusi- dalam melihat persoalan tersebut. Namun tidak berarti ingin disebutkan di sini bahwa sumbangan sosial oleh individu harus selalu digerakkan oleh agama namun lebih dari itu sesungguhnya apa yang disebut sebagai kebaikan harus dipraktikkan sehingga mampu meperlihatkan peranannya dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial.[2] Karena sesungguhnya agama adalahdiperuntukkan untukmanusia bukanuntukTuhan.Sehingga agama harus membumi, untuk kini,di sinidan ditengah-tengah masyarakat meskipun beragam;bukan melangit, untuk lusaatau yang akan datangdan di sana.[3]

Teologi yang tidak peka terhadap persoalan-persoalan sosial menurut Amin Abdullah akan out of date.[4] Ini berarti bahwa teologi dapat dijadikan semacam pijakan untuk melihat realita sosial yang sifatnya universal. Dari sini dapat dikatakan bahwa agama sudah saatnya memainkan peranannya untuk ikut terlibat dalam peperangan dalam memecahkan persoalan sosial (melawan kemiskinan dan sebagainya). Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menulis: Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim), menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal).[5] Bahkan dalam salah satu surat Al-qur’an disebutkan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang tidak peduli dengan kemiskinan.[6]

Dalam agamaNasranimisalnya diceritakan Injil mengenai bagaimana keteladanan Yesus menyembuhkan orang-orang sakit; orang buta melihat, tuli mendengar, orang lumpuh berjalan, dan yang perlu diperhatikan adalah Yesus datang untuk menyampaikan  kabar baik kepada orang-orang miskin dan untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dan mendahulukan orang-orang yang tak berdaya[7] (mustadh’afin) adalah sebagai wujud kecintaan terhadap sesama.[8]Demikian pula dengan Konghucu misalnya yang memiliki ajaran bahwa beragama harus selaras dengan firman Thian. Karena bagi Konghucu jalan suci Thian lebih tinggi nilainya dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi. Namun jalan Thian ini dapat dibuktikan dengan mengasihi rakyat lebih-lebih bagi rakyat yang menderita. Karena Konghucu lahir pada saat itu sebagai respon atas persoalan kemanusiaan. Menurut Kongcu menyatakan bahwa sesungguhnya salah satu tugas pokok manusia beriman adalah mengasihi sesama manusia dengan ketulusan. Tegasnya bahwa merupakan suatu kemustahilan seseorang dapat mencapai jalan suci manakala dalam hidupnya sama sekali tidak memperhatikan bagaimana kondisi sosial masyarakatnya. Karena salah satu ajaran pokok Konghucu adalah Tiong Si atau berempati kepada sesama manusia.[9] Bahkan dalam Lun Yu XII:1.1 disebutkan bahwa, mengendalikan diri sendiri dan kembali kepada kesusilaan adalah kebajikan sempurna. Hal ini dimaknai bahwa berbuat kebaikan dan empati terhadap kaum yang sedang dilanda penderitaan di tengah-tengah masyarakat merupakan kebajikan yang sempurna.[10]

Dalam agama Buddha dapat dijumpai ajaran yang relatif sama, yaitu mengajarkan agar manusia berbudi pekerti luhur; memiliki cinta kasih yang universal (tanpa melihat darimana berasal), welas asih, ikut merasa bahagia manakala orang lain memperoleh kebahagiaan atau sebaliknya merasakan kesedihan yang dialami orang lain manakala mengalami penderitaan, karena Buddha merasa datang di tengah-tengah umat manusia dengan maksud untuk melepaskan penderitaan[11], oleh karena itu sebagai umat dituntut untuk memiliki sifat Dana atau kedermawanan yang merupakan salah satu dari sepuluh kewajiban dalam agama Buddha. Dana (kedermawanan) diartikan bahwa setiap umat hendaknya memperhatikan bagaimana nasib sesama yang sedang mengalami kesusahan dalam hidup.[12]

Dari beberapa contoh tersebut diatas semakin memperjelas bahwa benar setiap agama sudah pasti memiliki konsep teologinya sendiri. Namun dalam perbincangan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial menurut Paul F. Knitter bahwa penderitaan masyarakat di dunia merupakan tantangan religius dan hanya teologi yang melihat keadaan sekelilingnya yang mampu memberikan sumbangan. Atau dengan kata lain bahwa agenda pencarian solusi bersama atas persoalan persoalan sosial membutuhkan pemahaman bersama bahwa dimana semua agama dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain yang merupakan kenyataan universal, lintas agama, budaya yang menuntut tanggapan religius setiap agama.[13]

Secara teologis, jika agama diartikan sebagai “paket” dari Tuhan maka bersifat transenden, otentik, dan tidak akan pernah mengalami distorsi dan jatuh dibawah dominasi kehendak manusia. Tetapi karena agama selalu dan selalu terlibat dan bergumul dengan pemahaman dan perilaku pemeluknya, maka agama, keberagaman akan tampil dengan berbagai wajah. Karena ajaran agama diwahyukan dan diperuntukkan untuk manusia diharapkan dengan bimbingan agama ini manusia mendapatkan semacam “pegangan” dalam menjalani kehidupan dan membangun peradabannya. Alhasil, agama sesungguhnya hanyalah jalan, bukan tujuan. Dengan jalan agama inilah manusia berusaha mendekati Tuhan, dalam hal mengharap restu-Nya melalui amal kebaikan yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horisontal (pengabdian sosial).[14]

Kalaupun ada yang disebut sebagai kecenderungan mistikal (solitary), profetik-ideological (solidary) maka agama juga cenderung humanis-fungsional.[15] Kecenderungan yang ketiga ini sebenarnya lebih menekankan apa yang disebut sebagai kebaikan hidup beragama adalah bila seseorang beriman pada Tuhan, lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Lebih-lebih ketika berada tengah-tengah masyarakat, maka beragama yang lebih berorientasi pada persoalan-persoalan kemanusiaan sebaiknya lebih mendapatkan apresiasi dan penekanan. Apa yang bisa dipetik dari hidup keragaman haruslah bermuara pada komitmen menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus ada hambatan akibat dari munculnya sentimen-sentimen kelompok keagamaan. Apabila ada keyakinan para pemeluk agama bahwa agama diperuntukkan bagi manusia dan bukanlah sebaliknya manusia untuk agama maka salah satu ukuran saleh dan tidak salehnya sikap hidup beragama adalah menggunakan standar dan kategori kemanusiaan bukannya ideologi kaku atau bahkan sentimen kelompok. Jika iman diapresiasi sebagai kata kerja, maka mendekati Tuhan hanya dengan pelafalan kalimat persaksian menjadi kurang bermakna.[16]


Daftar bacaan:

Nurkholis Madjid, pengantar dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F (ed), Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998)

Jon Sobrino dan Juan Hernandez Pico, Teologi Solidaritas (Yogyakarta: Kanisius, 1988)

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Moderisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)

M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’anTafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” dalamhttp://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Miskin.html

Alkitab dengan Kidung Jemaat, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006)

J.B Banawiratma dan J.Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1995)

Budi S. Tanuwibowo, “Agama, Politik, dan Negara Perspektif Konghucu” dalam Th. Sumarthana dkk (ed) Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha Konghucu, Protestan (Yogyakarta: Interfidei, 2002)

Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1998)

Chandra Setiawan, “Pembangunan Civil Society” dalam Th. Sumarthana dkk (ed) Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha Konghucu, Protestan.

K.B Sutrisno, “Agama, Politik dan Negara Perspektif Buddha” dalam Th. Sumarthana dkk (ed.),Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha Konghucu, Protestan,

Bikkhu Jotidharmo Thera Agama, Politik dan Negara perspektif Buddha dalam Th. Sumarthana dkk (ed.), Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha Konghucu, Protestan.

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Globalterj. Nico A. Likumahuwa (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003)

Firdaus Putra A, “Menyoal Kemiskinan, Menyoal Agama” dalam http:// 1sprofetika.wordpress.com/2008/02/05/menyoal-kemiskinan-menyoal-agama/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun