Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Mengenal "Swinger": Ancaman dan Akibat Sosialnya bagi Masyarakat

5 Maret 2015   22:31 Diperbarui: 20 Juni 2016   15:24 940 6

Swinger atau dalam bahasa lain disebut partner swapping yang lazim diterjemahkan secara sederhana, yakni bertukar pasangan, tampaknya sudah mulai menggejala di daerah. Beberapa waktu lalu, menurut pantauan harian Satelitpost (3/7/14) yang pernah saya baca, telah dijumpai beberapa orang yang bertukar pasangan di salah satu daerah pesisir barat perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Dalam kenyataannya, sebenarnya kabar mengenai swinger bukanlah perbincangan baru dalam dunia seksualitas namun berkaitan dengan kapan dimulainya secara persis perilaku ini penulis belum memiliki data yang lengkap. Ibaratnya seperti bau yang dapat tercium namun mencari asal muasal aroma bau tersebut tidaklah mudah ditelusuri sumbernya, terkecuali ada pengakuan dari pembuat aroma tersebut.

Sebutan secara umum swinger dapatlah dimaknai sebagai salah satu jenis hubungan intim secara bersamaan dengan beberapa pasangan, saling bertukar pasangan dalam suatu kelompok/group atau berjama’ah. Singkatnya, swingera dalah aktivitas seksual dengan cara bertukar pasangan. Mengapa ada perilaku demikian? Dr.Boyke dengan tegas menyatakan bahwa swinger dilakukan lantaran karena adanya persoalan psikologis yang dialami oleh pasangan dan berusaha mencari kepuasan seksual yang bukan berasal dari pasangan sahnya. Bukankah hal ini mengusik nalar-etis kita?

Diskursus mengenai swinger relatif belum banyak menjadi perhatian khalayak-atau malah diabaikan-dibandingkan dengan persoalan-persoalan lain seperti korupsi, kemiskinan, ekonomi dan pembangunan fisik. Saya meyakini bahwa swingeradalah salah satu persoalan serius dari sekian banyaknya masalah berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi. Oleh karenanya, sudah semestinya swinger mendapatkan atensi lebih dari semua elemen. Pemerintah maupun masyarakat yang masih memiliki kepedulian bagi terciptanya generasi yang sehat (secara fisik, psikis, seksual maupun secara sosial).

Dari sisi fenomenologi, sesungguhnya persoalan swinger dapat menciptakan “gejolak” di tengah masyarakat karena dikhawatirkan membuat hubungan-relasi-menjadi lebih individualistik dan hanya mengejar kenikmatan material yang tentu saja dapat mereduksi kepedulian terhadap sesama atau menjadi luntur bahkan hilang. Diakui ataupun tidak, perilaku bertukar pasangan bukanlah sekedar mitos, ia adalah kenyataan yang hidup diruang tidak hampa alias bebas berkeliaran di sekitar kita atau bahkan ditempat yang kita anggap “aman” dari pengaruh. Memang, semula swinger hanya persoalan individu lalu meluas dan penulis menduga sepertinya menjadi lahan “bisnis” baru yang kemudian dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga melipat gandakan keuntungan secara material sehingga menarik minat “pembeli” yang hanya mencari kepuasan harfiah semata.

Walhasil, persoalan-persoalan lain seperti penyebaran virus HIV & AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), kanker mulut rahim dikhawatirkan makin meningkat akibat dari adanya perilaku bertukar pasangan yang cenderung semakin menggejala di tengah masyarakat. Lebih dari itu sesungguhnya persoalan swinger seolah “menohok” dengan keras perasaan masyarakat kita yang dikenal menganut nilai-nilai religiusitas. Meskipun perilaku swinger ini umumnya dalam beberapa kesempatan dilakukan dengan kesan tertutup, akses yang “mahal” atau dalam bahasa lain dari sisi kemampuan material para pelakuknya patut diduga dari kalangan pasangan berduit (mapan), namun kita patut waspada bahwa perilakuswinger sebagai gejala di masyarakat dikhawatirkan makin meluas dapat merusak nilai-nilai sendi kehidupan, terlebih dianggap sebagai “gaya” hidup wajar. Bukankah ini perlu kita waspadai?

Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk lebih waspada pada persoalan swinger. Pertama, dalam tataran yang paling kecil adalah setiap pasangan sangat berkepentingan untuk memperkuat kualitas hubungan; mulai dari kemampuan komunikasi yang lebih hangat-intens-dengan pasangan dan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Bukan sebaliknya, merasa paling kuat dan menganggap pasangannya (suami/istri) lebih lemah. Lebih dari itu setiap pasangan dapat pula membangun kesepahaman dan kesepakatan untuk mempermudah jalannya roda relasi. Kedua, dalam wilayah organisatoris Negara/pemerintah perlu melakukan pembaharuan kurikulum yang di dalamnya mencantumkan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, mengingat persoalan bertukar pasangan sulit menghindar tidak berkaitan dengan pemahaman kesehatan seksual dan reproduksi. Tidak hanya menjadi kegiatan ektra kurikuler saja namun masuk menjadi salah satu mata pelajaran inti sekolah di setiap jenjang pendidikan; mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Lebih dari itu sesungguhnya instansi yang terkait langsung sudah semestinya mulai berpikir ulang untuk memproduksi dan memiliki semacam panduan/modul yang akan dibagikan kepada masyarakat agar lebih waspada dengan munculnya “perilaku” baru yang dapat menggerus nalar dan etik.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita dapat memulainya dari tingkatan individu-keluarga, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai yang adil gender tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Sudah saatnya setiap individu yang merasa berkepentingan selayaknya mulai memperluas pengetahuannya, salah satunya adalah dengan memperdalam cabang ilmu psikologi yang dikenal dengan ilmu parenting yang mengajarkan kepada kita (orangtua, anak, ayah, ibu, suami, istri, keponakan, sepupu dan karib kerabat) memiliki tiga paket lengkap: pikiran, sikap dan perilaku yang tidak merugikan orang lain. Akhirnya, kini tentunya kembali pada pribadi masing-masing melihat persoalan bertukar pasangan ini dengan minimal dua opsi: mengikuti ego dan “kepuasan” atau kembali kepada nilai-nilai kehidupan “kuno-usang” yang terdengar tidak up to date, tidak gaul atau bahkan kolot. *

*Dari berbagai sumber

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun