ANGIN dari utara berhembus cukup kencang. Itu terlihat jelas dari tarian riak kumpulan flora pohon maple di luar sana. Sebagian dedaunan coklat kekuningan tua tak kuat menahan sentuhan sang dewi angin, lalu berjatuhan lunglai dengan anggunnya. Jika kita perhatikan area di sekelilingnya, pemandangan luar biasa yang terkreasi mencuat indah nan mempesona. Musim Gugur ternyata telah menyapa lebih awal dari biasanya. Aku yang sedari tadi berasyik masyuk mengalihkan perhatian ke luar jendela menyadari hal tersebut. Kurasa ada untungnya memilih posisi duduk di dekat jendela, selain dapat menyaksikan geliat kehidupan alam, pun sembari menyimak curahan transfer ilmu dari seorang Profesor di dalam kelas. Ya, hari itu adalah hari pertama aku belajar di salah satu perguruan tinggi di negeri adidaya Hitler, Deutschland.
Mekanisme kurikulum pengajaran di negeri ini sungguh ajaib nan mengesankan, pun sekaligus menyusahkan. Fasilitas penunjang pendidikan sungguh mumpuni dan lengkap. Tradisi interaktif dan forum bertukar informasi di dalam kelas merupakan gaya simbiosis yang selalu tereksis penuh makna. Seakan tak ada jarak antara sang pengajar dan pembelajar.
Namun, tradisi aktif yang menyeruak divergen di forum kelas, terkadang menjadi momok pemicu keringat dingin mencuat dari sarang pori kulit, khususnya bagi mahasiswa asing. Mengapa? Para pelajar asing selalu menjadi sasaran tombak pertanyaan dari sang Profesor, ketika suatu wacana kasus mulai didiskusikan. Alih-alih menghindar dengan mencari strategi posisi duduk di belakang pelajar lokal yang bertubuh gempal, tak menjadikan suatu alasan dari kealpaan sang Profesor. Para pelajar di sini biasa menyebutnya sebagai strategi bayangan. Aku tertawa renyah ketika pertama kali mendengarnya dari teman sekamar di asrama.