Judul Asli Cerpen : Kekerikil ! By Cupi Valhalla
Langit sore tampak merah darah. Sekelilingnya tampak saga. Beberapa raksasa maple merona scarlet. Pun dengan dedaunnya yang berarak anai. Autumn kali ini biasa saja. Tak ada yang special. Semua berjalan rutin. Seakan dunia mati. Stagnan dan berhenti di tempat. Tak ada sukacita. Tak ada arus kekenesan. Kosong tiada ruang. Hambar di dalam asupan. Hampa bak angkasa tanpa udara. Tak menentu hal yang terjadi.
Kaki lusuhku melangkah linu. Dilapisi sepatu boot merah kucel hasil kaisan di tempat sampah rumahnya Mr. Brown. Rasa perih di lambung masih terasa. Apa ini karena sisa roti berjamur yang kumakan tadi. Ah, emang kupikirin! Nanti lamat-lamat juga lenyap bak angin. Pikirku! Sekarang harus cari sisa cake dan soup cream jagung padat di lumbung sampahnya Gereja St. Charles di taman Barbara Hills. Rintih batinku!
Plok! Plok! Plok! Hei apa-apaan ini? Darimana datangnya batu-batu kerikil ini? Batu-batu sebesar buah kenari itu manghantam tubuhku. Siapa? Siapa sih yang iseng? Tubuh dekilku berputar 360 derajat. Berspionase mencari muasal tolakan batu itu. Mata sayuku meneropong semua penjuru arah. Melompat. Berbaring. Mendongak. Mendelik. Tapi aneh tak juga kudapati perbuatan iseng itu. Sial! Kalau ketemu, akan kuremukkan batang hidungnya! Marahku! Iyah, seperti bulan lalu, saat aku hampir memutuskan urat leher seorang anak blonde yang mengataiku gila. Gara-gara itu, aku harus masuk bangsal gila. Mendapati perawatan yang katanya membuatku sembuh. Tapi apa lacur. Semua itu bohong. Malah membuat aku semakin gila. Sengatan listrik 60 volt kerap menjadi makananku. Belum lagi ganasnya suntikan jarum gajah ditubuhku. Syukur aku bisa kabur dari neraka dunia itu.
Ah, sial! Pekikku memecah udara! Mengapa semuanya jadi begini? Ku terduduk di atas kayu pinus yang telah melapuk. Beberapa kekerikil tadi kuambil dalam jamahan genggamanku. Kugenggam kuat. Seperti menggenggam tekad mimpiku. Sesekali kugesek-gesekan kekerikil itu. Sedikit bulir pasir sepertinya lepas dari strukturnya. Terlihat luntur dan keropos. Mungkin sudah dimakan era si batu. Dimakan era? Dimakan zaman? Keluhku! Ah sial, ini semua mengingatkanku padanya. Gadis brengsek itu. Gara-gara dia hidupku hina dina. Segala carut marut tak termaafkan kutumpahkan pada wajah culasnya. Seandainya saja aku tidak terbuai pada topeng kebaikannya. Tentu aku tidak terperangkap dalam jejaring setannya. Duh, kasihan si Eleanor kecil. Bagaimana keadaannya bersama Ibu tiri yang jahat itu? Ini semua karena takdirku yang buruk. Jika saja aku tidak menikam tewas pria hitam simpanan gadis pelacur itu. Mungkin aku tidak akan menjadi burunon sekarang ini. Tidak akan terlunta-lunta. Jauh dari hangatnya rumah. Dan tentunya tidak akan jauh dari tubuh kecil nan lucu dari buah hatiku---Eleanor. Batinku pilu! Kepalaku berat. Seakan sebuah godam raksasa menghantam tempurung kepalaku. Retak dan hancur berserakan. Badanku meringkuk tersungkur ke tanah. Air asin dari kelenjar mataku mulai memancur. Kali ini tidak sederas sebelumnya. Namun cukup membuatku merasa pilu.
Arrrrggghhhh! Kujambak rambutku. Kali ini tak kucakar wajahku. Sisa luka cakaran yang menanah di wajahku menstimulus jera perbuatan yang satu ini. Namun rerasa perih masih terasa setiap kali kusentuh goresan luka itu.
“khi hi hi hi hi” terdengar riuh rima suara.
Mataku memburu. Hey, dimanakah suara itu? Gelagat tubuhku sigap mencari muasalnya. Kali ini kalian pasti ketangkap! Raungku! Dan Aha, kena kau! Kulihat beberapa onggok tubuh bersembunyi di rerimbun daun pinus dan cemara. Kuberlari mendekati objek itu. Rupanya mereka pun menjauh. Bergerilya dengan cekatan. Sial! Pekikku! Mataku memantau tanah. Mencari kekerikil lainnya. Kali ini akan kubalas kalian berandal kecil. Teriakku!!!
Ku bombardir mereka dengan kekerikil yang kujamah tadi. Habis kekerikil di tangan. Kuambil lagi. Kukejar mereka. Kulempari mereka. Hingga sampai tepi badan jalan raya. Dan sial, rupanya mereka menyeberangi jalan itu. Memasuki rerimbunan stepa dan kumpulan cemara di seberang jalan itu. Otakku mulai beringas mengejar mereka. Melempari. Memborbadir lagi mereka dengan banyaknya kekerikil dari seberang mereka. Kekerikil pun banyak berserakan di badan jalan.
Dan. Pletak! Pletak! Pletak! Tiga kerikil hitam menghantam tubuhku. Satu melabrak kepalaku. Satu lagi mendesak wajahku. Dan sisanya menghantam dada sebelah kiriku bersamaan dengan melintas kencangnya sebuah Ferrari silver. Kekerikil yang berserakan di jalan itu rupanya melesak ke arahku setelah bersinggungan dengan roda-rodanya. Kekuatan dan kecepatan lontaran batu itu cukup membuatku terjatuh terjerembab. Darah segar dan anyir membasahi kepala dan wajahku. Jantungku seolah tersedak. Rasa sakit mulai menjalar. Mataku mulai menciut. Namun sialnya, kulihat bebayang para berandal tadi dari seberang jalan. Sepertinya mereka terkejut dan kasihan padaku. Atau malah tertawa dan mengejekku. Treeshrew berbulu cokelat itu mematung memandangi tubuhku. Lalu, semuanya terasa hening. Kegelapan datang. Dan hampa!
----------------------
*Treeshrew, adalah nama bahasa inggerisnya Tupai, yang arti harfiahnya cerurut pohon (tree pohon, shrew cerurut). Hewan ini senang menjatuhkan kerikil atau biji kenari dari atas pohon dan terkadang mengganggu manusia yang berada di bawahnya.
#Mengenang seorang tunawisma yang ditemukan tak bernyawa dalam keramaian lalu lalang insan!
The Red Bridge, Regen stad, Butenzorg, On November, 2011