Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Aku Menolak Undangan Natalmu, bukan Berarti Aku Antipati terhadap Kamu dan Agamamu!

27 Desember 2010   00:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:21 304 0
Sore membahana. Suasana kantin di Kampus Hijau kala itu sangat ramai, bak pasar tradisional. Hiruk pikuk manusia yang berstatus akademika kampus membias ke segala penjuru. Tampak guratan perpaduan ekspresi kebahagiaan dan kegundahan yang terpancar dari setiap pias wajah para kaum yang katanya terpelajar itu. Bahagia karena menyambut liburan Natal dan Tahun Baru yang cukup lama. Dan, gundah karena juga akan mengahadapi Ujian Akhir Semester setelah liburan berakhir. Ada pepatah yang mengatakan : berakit-rakit dahulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian. Dan, kurasa situasi yang terjadi tersebut adalah kebalikan dari pepatah itu, yakni bersenang-senang dahulu, baru bersakit-sakit kemudian. Mungkin begitu pikirku!

Namun, kukira perasaan kebahagiaanlah yang lebih mendominasi dan mencuat hadir, dibandingkan kegundahan ataupun kegelisahan yang datang. Itu pikirku. Mungkin, aku juga termasuk di dalamnya. Padahal materi kuliah di semester kali ini sangatlah berat. Harus ekstra keras berjuang, agar mendapatkan hasil yang lebih baik. Akan tetapi, cobalah dengarkan ini, kawan, kuperhatikan di kanan kiri sekitarku dengan membentuk sudut 180 derajat, insan-insan itu tampak bahagia dan semangat menyambut hari liburnya. Mereka tampak melupakan bahwa ada momok menakutkan berupa lembaran-lembaran soal yang super duper sulit luar biasa, yang akan menanti mereka di depan mata. Jika tak mampu menjadi sahabat lembaran soal itu, maka siap-siap harus menahan malu di depan junior-juniornya dan dosen, karena harus mengulang tahun depan. Belum lagi harus mengorbankan waktu, biaya, energi, dan pikiran hanya untuk dipertemukan kembali dengan mata kuliah yang sama. Tidakkah itu merugikan, bukan?!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun