Suatu hari, ketika saya sedang melakukan survey lapangan ke sebuah perkampungan masyarakat, untuk keperluan pendataan riset sosio-culture-kearifan lokal.
Selama saya berada di kampung tersebut, saya diwanti-wanti atau dinasehati oleh penduduk kampung, agar setiap tempat yang saya langkahi dan telusuri, harus mengucapkan perkataan : "Nenek, Datuk, Buyut, Ma'af, Numpang lewat, ya?!".Begitu pun, ketika saya hendak mengambil gambar di kampung tersebut, saya harus izin kepada "arwah agung", yang dipercaya penduduk sebagai nenek moyang atau pendahulu mereka, yang menjaga dan melindungi kampung tersebut.
Karena penasaran, saya pun bertanya, mengapa hal demikian harus dilakukan. Salah seorang petuah kampung menjawab : "Karena kampung ini dahulunya "mereka' yang menjaga dan melindunginya, dan tamu yang masuk harus melakukan hal tersebut, untuk mencegah dari hal-hal yang tidak diinginkan". Jelas petuah kampung tersebut dengan mimik meyakinkan.
Selain itu, diceritakan juga, dahulu pernah ada tamu yang berkunjung ke kampung tersebut, tetapi tamu itu tidak melaksanakan aturan yang berlaku di kampung tersebut. Akibatnya, tamu itu mengalami "gangguan" dan "kesurupan" saat berada di kampung itu. Akhirnya, setelah melalui ritual adat kampung, tamu tersebut kembali normal, dan meminta maaf kepada penduduk kampung, karena tidak mau mendengar dan melaksanakan aturan yang berlaku.
Mendengar penjelasan itu, karena saya sebagai tamu yang datang berkunjung ke kampung tersebut. Saya menghormati dan melaksanakan aturan yang berlaku. Tetapi, saya tetap memfokuskan diri sebagai individu yang beriman, bahwa yang paling utama dan pertama, saya harus meminta perlindungan dariNya, Tuhan Semesta Alam. Karena Dia-lah Tuhan, Dzat yang Maha Daya, Creator semesta alam beserta isinya. Saya tidak mau dengan kondisi yang terjadi tersebut, malah membuat saya menjadi ingkar atau menduakannya (baca : syirik).
Yang jelas, saya mencoba menyesuaikan diri dan tidak melakukan hal-hal buruk selama di kampung tersebut. Kejadian atau tradisi yang terjadi di kampung tersebut, membuat saya berpikir, ternyata di zaman sekarang ini, masih ada kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan lawas lainnya, yang masih tetap terjaga, tanpa tergerus musim dan waktu. Dan, hal ini telah menjadi salah satu khazanah budaya dan kearifan lokal yang menghiasi bumi Nusantara ini.
Sekarang, pertanyaan intinya adalah, percayakah Anda dengan mitos tersebut, seandainya suatu hari, Anda mengalami kasus yang demikian?!
----------------------------
Memorial segelintir kisahku
[CV]