Satu hal yang saya sukai Piala Dunia ini adalah dapat menyaksikan pertandingan di siang hari, waktu petang, dan awal malam.
Pertandingan pertama dimulai pukul 12.00 WIB. Jadi kita penduduk Indonesia tak perlu begadang. Sesuatu yang baru, selama ini kita hanya bisa menyaksikan sepak bola kelas dunia pada jauh-malam hingga dinihari karena digelar di Eropa dan Amerika. Sekarang gantian, masyarakat Eropa dan Amerika yang mesti begadang.
Dengan pertandingan berlangsung di tengah jam kerja masyarakat Indonesia, nuansa Piala Dunia Korea-Jepang benar-benar berbeda.
Diberitakan beberapa agenda dan rapat-rapat rutin, baik pemerintah maupun swasta yang sudah terjadwal, mesti ditunda dulu jika berbarengan dengan pertandingan Piala Dunia yang melibatkan negara-negara favorit.
Piala Dunia 2002 juga bertepatan dengan agenda ujian final semester bagi mahasiswa, termasuk saya. Saya mesti mensiasati bagaimana cara tetap bisa menghadapi ujian dengan baik tanpa terlewatkan laga-laga Piala Dunia.
Beberapa waktu saya menyaksikan di kampus bersama civitas akademik penggemar bal-balan. Mahasiswa, dosen, staf, pimpinan, hingga petugas keamanan kampus, semuanya riuh dalam pesta sepak bola, walaupun bukan mendukung timnas Indonesia.
Kembali ke turnamen, momen apa yang paling dikenang di perhelatan Piala Dunia 2002?
Menurut saya pribadi, sebenarnya secara kualitas, Piala Dunia 2002 tak sebagus Piala Dunia 1998. Sejumlah pertandingan berlangsung tanpa intensitas tinggi penuh ketegangan, jauh dari ekspektasi, terutama babak penyisihan.
Banyak pemain papan atas tidak tampil maksimal karena fisiknya sudah terkuras di kompetisi domestik dan juga Liga Champions (waktu itu format Liga Champions menggunakan dua tahap fase grup sebelum fase knock out-perempat final).
Paling kentara adalah Zinedine Zidane, harus dipaksa bertanding meski mengalami cedera paha, alhasil juara bertahan Perancis angkat koper paling awal. Les Bleus tak meraih satu kemenangan pun dan lebih parahnya tak sanggup membuat sebiji gol dari tiga laga yang mereka mainkan melawan Senegal, Uruguay, dan Denmark di grup A.
Seingat saya, favorit kuat unggulan utama adalah Argentina. Pelatih Marcelo Bielsa memboyong pemain-pemain Argentina di atas rata-rata kontestan lain. Dari kedalaman skuad mulai lini belakang sampai lini depan, Abiceleste paling mentereng.
Sekadar menyebut nama Gabriel Batistuta, Hernan Crespo, Javier Zanetti, Walter Samuel, Juan Veron, Diego Simeone, Ariel Ortega, dan Roberto Ayala, dan Maurichio Pochetino. Pandit menyebut tim terbaik Argentina sejak era Maradona berakhir. Alih-alih juara, Argentina malah tersingkir di putaran grup neraka yang dihuni Inggris, Swedia, dan Nigeria.
Justru Brasil yang kali ini tidak diunggulkan sukses menjadi kampiun yang ke-5, Penta. Di final tim samba menghancurkan panzer Jerman, yang juga tak masuk favorit turnamen ini, dengan skor 2-0 yang diborong sang phenomenon Ronaldo Nazario. Ronaldo dengan model rambut kuncung, menebus dosa empat tahun sebelumnya.
Anh Jung-Hwan dan Moreno
Satu momen yang tak terlupakan adalah fenomena Korsel yang berhasil menembus semifinal sebelum dihentikan Jerman yang berlaga seperti panzer, perlahan tapi memusnahkan.
Korsel selama bertanding pada empat turnamen Piala Dunia sejak tahun 1986, tak sekalipun mencatat kemenangan, sampai akhirnya mereka sanggup mengalahkan Polandia, Portugal, Italia, dan Spanyol dalam satu Piala Dunia.
Terlepas tudingan curang selaku tuan rumah, Korsel yang dilatih Guus Hiddink, memang menampilkan sepak bola menyerang yang menghibur. Para pemain Korsel juga tak pernah menyerah, kekuatan fisik Taeguk Warriors seolah melebihi batas kemampuan fisik manusia.
Pertandingan Korsel melawan Italia di babak 16 besar yang paling memorable. Mungkin kebetulan saja, saya menonton partai ini di tengah Selat Jawa, di geladak KM Pelni Bukit Siguntang, yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Emas Semarang menuju pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. Sebagai penggemar Serie-A, saya tentu mengunggulkan Italia. Sepeti diketahui, Korsel menang 2-1 melalui Park Seoul dan golden goal Anh Jun-Hwan.
Belum selesai, pertandingan berlanjut ke ranah politik dan hukum. Ahn Jung-Hwan, dipecat Luciano Gaucci, bosnya pemilik klub Perugia, yang tak terima Ahn mempermalukan negaranya, Italia. Kedangkalan sikap Gaucci Ini kemudian menjadi lelucon, bahkan bagi sepak bola Italia sendiri.
Bagi orang Italia, bukan Ahn yang menjadi musuh nomor satu, melainkan sosok laki-laki bermata sayu dari negara Ekuador, dialah Byron Moreno. Moreno, sang wasit dituding paling bertanggung jawab atas tersingkirnya Italia.
Setidaknya ada tiga keputusan besar Moreno saat itu yang dapat mengubah hasil pertandingan sebelum gol Anh menjadi neraka Azzuri. Kesatu, hadiah pinalti untuk Korsel (tidak gol); kedua, gol Damiano Tommasi dianulir; ketiga, kartu merah Francesco Totti.
Kubu Italia protes keras dan mengecam FIFA. Namun hasil pertandingan sepak bola tak akan pernah bisa diubah.
Baru pada 2010, saat Moreno menyelundupkan 6 kilogram heroin ditangkap di bandara JFK, New York, publik sepak bola kemudian yakin bahwa tragedi Daejeon boleh jadi merupakan bagian dari mafia sepak bola yang ada di federasi FIFA.