Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Penalti Hanya Untuk Pemberani

11 Juli 2014   02:48 Diperbarui: 7 September 2016   12:30 200 0

Ketika awal-awal menggemari sepak bola, saya senang sekali jika pertandingan sepak bola diselesaikan melalui adu penalti. Seru, menegangkan, jantung rasanya mau copot.

Barangkali semifinal Piala Eropa 1992, antara Belanda vs Denmark, merupakan saat pertama kali, saya merasakan tegangnya proses adu penalti di pertandingan yang sangat penting. Waktu itu Belanda sangat diunggulkan, ternyata ditahan imbang 2-2 oleh tim dinamit, hingga harus dilaksanakan adu penalti. Striker utama Belanda, sekaligus pesepakbola terbaik dunia, Marco van Basten, harus menjadi pesakitan. Tendangan ‘angsa putih” dapat diblok oleh kiper Denmark, Peter Schmeichel. Denmark ke final dan menjadi Juara Eropa setelah mengalahkan Jerman.

Momen ini yang meyakinkan saya, bahwa Peter Schmeichel adalah kiper terbaik di dunia. Biarpun kiper-kiper sebelum dan sesudah era Schmeichel juga dianggap terhebat, seperti Dino Zoff, Lev Yashin, Gordon Strachan, Gianluigi Buffon, Iker Cassilas, Manuel Neuer, dan sebagainya. Bagi saya, tak ada setangguh Schmeichel di bawah gawang. Titik.

Sejak saat itu saya juga mengingat hampir setiap turnamen akbar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, pasti ada pertandingan fase gugur, pemenangnya ditentukan melalui adu penalti. Ada beberapa masih membekas. Pertama, final Piala Dunia 1994 antara Brasil dan Italia yang dimenangkan Brasil, karena tiga algojo Italia gagal menceploskan bola, termasuk bintang utama, Roberto Baggio.

Adu penalti semifinal Piala Eropa 1996, antara Inggris melawan Jerman, juga masih terkenang. Inggris yang tampil apik sepanjang turnamen, berstatus tuan rumah, akhirnya tumbang karena Gareth Southgate, gagal menaklukkan Andreas Kopke, kiper Jerman. Airmata Southgate jatuh di stadion Wembley mengingatkan air mata Paul Gascoingne, di Turin 1990, di hadapan musuh yang sama.

Semifinal Euro 2000 saat tuan rumah Belanda tumbang atas Italia melalui adu penalti, juga yang paling tragis di benak saya. Bayangkan, Belanda harusnya bisa memenangkan pertandingan tanpa adu penalti, karena di waktu normal, Oranye punya dua hadiah penalti dan puluhan kans, namun semuanya tak mau masuk ke gawang Francesco Toldo, kiper Italia. Saat adu penalti, tiga pemain Belanda pun gagal dari titik penalti, sedangkan pemain Italia, Francesco Totti melakukan sepakan penalti berkelas, mencip bola ke tengah gawang mengecoh kiper Van der Sar.

****

Satu hal, banyak yang bilang kalah adu penalti ibarat kalah lotre, tidak mendapat keberuntungan pada hari tersebut. Apes, sial, naas, celaka, atau apapun istilahnya.

Adu penalti di beberapa laga Piala Dunia 2014, boleh jadi membenarkan persepsi tersebut. Contohnya, Chile sudah bermain gigih dan memiliki banyak kans sepanjang 120 menit, harus tersingkir dari tuan rumah, Brasil, melalui adu penalti, di babak perdelapan final. Esoknya giliran Yunani yang dijauhi dewa-dewa fortuna ketika menjalani adu penalti melawan Kosta Rika, juga diperdelapan final.

Kosta Rika mengukir sejarah bagi negaranya dengan melaju ke perempat final, dan kembali memainkan adu penalti melawan Belanda setelah skor 0-0 bertahan sepanjang pertandingan. Pada hari tersebut, Kosta Rika tak lagi menang, tidak beruntung lagi, seperti di hari melawan Yunani.

Seperti linier dengan Kosta Rika, Belanda melenggang ke semifinal karena “beruntung”dan menantang Argentina. Selama 2 x 45 menit ditambah 2 x 15 menit, gol dari kedua tim tak kunjung tercipta. Tak ada pilihan lain, adu penalti harus dilaksanakan untuk mencari penantang Jerman di laga final. Jika empat hari sebelumnya, Belanda beruntung, maka pada hari melawan Argentina, Belanda sial. 

Tapi asumsi bahwa adu penalti ibarat lotre, bisa dengan mudah dipatahkan dengan beberapa bukti. Mengapa Jerman empat kali menjalani adu penalti bisa menang terus ? nasib baikkah? lalu Brasil menang empat kali dari lima kesempatan. Atau jika memang lotre yang sewaktu-waktu bisa berpihak pada hari baik, mengapa tim Inggris tak pernah mendapat hari baik tersebut ? Tiga kali adu penalti tiga kali kalah. Italia, dan Belanda, mungkin sedikit lebih baik dari Inggris, tetapi rekornya juga jelek, tidak seimbang.

Dengan begitu, penalti bukanlah sekedar menggantungkan pada nasib baik saja. Perlu kesiapan, keberanian, dan ketangguhan mental.

Sepak bola dulu barangkali menilai adu penalti hanya ditentukan faktor mental saja, sehingga tak masuk agenda latihan. Bagi mayoritas pelatih, tendangan penalti bukan sekadar persoalan teknis yang bisa dibereskan melalui latihan terus menerus. Tidak peduli seberapa banyak latihan penalti dilakukan, pemain tetap tidak bisa merancang bagaimana sebuah tendangan penalti yang sempurna.

Namun sepak bola modern sekarang ini harus terbiasa menerima adu penalti sebagai rencana dari strategi. Tampaknya, probabilitas adu penalti semakin besar. Dalam pertandingan yang kian menentukan, semua tim bermain hati-hati dan bertahan habis-habisan yang dianggap lebih sedikit resikonya. Oleh karenanya, beberapa pelatih memberikan waktu khusus berlatih penalti. Bahkan merasa perlu dukungan data statistik dan hukum fisika dari ahli.

Berdasarkan beberapa riset, tendangan penalti yang sempurna adalah pada titik pojok atas kanan atau kiri gawang. Di sisi itu, mustahil diantisipasi kiper. Namun persoalannya, tak banyak yang berani mengincar titik akurat itu. Harus memperhatikan arah angin, rotasi serta kecepatan bola, dan harus membuat kalkulasi cepat di otaknya. Sedikit saja salah, bola pasti melenceng dari target.

Sekali lagi melaksanakan penalti bukanlah hal yang mudah. Semua pemain terbaik dunia pernah gagal menjalankan misi. Tugas sebagai algojo sangat menekan urat syaraf, kekuatan mental di atas segala-galanya jika urusan penalti. Hanya untuk para pemberani.

Salam Pildun

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun