Tulisan ini ditulis bukan karena tidak mempunyai rasa nasionalisme ataupun hanya ingin mencari sensasi yang berlawanan dengan mainstream pemberitaan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Tetapi mencoba memberi opini dari perspektif yang penulis rasakan dan amati. Jadi ucapan maaf terlebih dahulu penulis haturkan di awal tulisan ini.
Sesuai dengan judul yang penulis sampaikan, penulis mencoba memberikan pedapat sesuai dengan permasalahan yang sudah beberapa kali dihadapi oleh kedua belah pihak antara Indonesia dan Malaysia.
Pertama, masalah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dua tahun lalu kita kehilangan dua buah pulau yang sangat mempunyai potensi baik itu pariwisata maupun sumber daya alamnya. Pengadilan Internasional telah memenangkan Malaysia dikarenakan beberapa hal. Antara lain lebih cepatnya pemerintah Malaysia memperhatikan kedua pulau tersebut dengan mendirikan beberapa bangunan resort. Disini terlihat bahwa Malaysia membuktikan dirinya punya hak dengan pulau tersebut dengan membangun pulau tersebut sementara sebaliknya pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa.
Indonesia baru kebakaran jenggot setelah Malaysia mengakui pulau –pulau tersebut sebagai miliknya. Seharusnya kalau kita mengakui itu milik kita, maka sebagai negara yang besar kita harus memberikan perhatian terhadap pulau tersebut, bukan setelah diakui pihak lain baru berkoar-koar bahwa itu milik kita. Disini terlihat bahwa secara Internasional kita kalah dalam diplomasi dikarenakan karena kelemahan kita yang tidak memperhatikan dan menjaga wilayahnya.
Kedua, masalah banyaknya budaya kita yang di caplok pihak Malaysia.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa lebih dari 2 juta orang Indonesia ada di Malaysia baik itu sebagai pendatang atau yang sudah beranak pinak di sana. Secara alamiah tentu saja mereka yang sudah lama tinggal disana apalagi turun temurun pasti membawa budaya dan tradisi yang di lakukan di Indonesiaseperti reog, angklung, tari pendet dan lain-lain. Seharusnya kita bangga kepada saudara-saudara kita yang tinggal disana yang masih tetap melestarikan budaya negerinya walaupun sudah lama tinggal di negara tersebut. Sementara itu, Malaysia yang ingin mengembangkan industry pariwisata merasa berhak untuk mempublikasikan budaya-budaya di atas karena memang banyak rakyat mereka (di baca: masyarakat asal indoesia yang sudah menetap disana) melakukan atau membuat kegiatan budaya dimaksud (walaupun caranya tidak sepenuhnya benar).
Sementara Indonesia sebagai negara asal kesenian dan budaya tersebut tidak memberikan perhatian yang cukup, misalnya dengan mendaftarkan seni dan budaya tersebut sebagai asset dan kekayaan bangsa ke lembaga internasional (misalnya UNESCO) sehingga mendapat pengakuan dunia sebagai milik kita. Begitupun hal yang terjadi dengan makanan tempe dan tahu yang sekarang sudah di patenkan oleh negara lain.
Ketiga, sengketa perbatasan
Awal Agustus kita sekali lagi mendapat tamparan yang cukup keras dari Malaysia. Tiga orang petugas kita di gelandang pihak Malaysia karena telah menangkap beberapa perahu nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia (dibaca: versi pemberitaan Indonesia). Beberapa hari kemudian petugas tersebut di lepaskan bersamaan dengan dilepaskannya nelayan-nelayan Malaysia (barter). Sungguh merupakan hadiah terindah dari negeri jiran untuk NKRI. Disini penulis melihat bahwa pejabat dan posisi diplomasi Indonesia sangat lemah. Bagaimana mungkin petugas negara yang katanya tidak bersalah di barter dengan nelayan, tapi itulah yang terjadi. Suasana hiruk pikuk pun terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari rakyat jelata sampai ke pejabat di tingkat pusat, mereka pada kebakaran jenggot menyikapi kasus ini. Penulis mempunyai opini bahwa apapun perjuangan yang dilakukan indonesi untuk menekan Malaysia tidak akan berhasil. Karena posisi Indonesia sangat lemah untuk berdiplomasi. Beberapa alasannya dalah:
1.Pihak Malaysia punya bukti tentang gambar-gambar satelit tentang posisi kapal-kapal mereka sementara Indonesia tidak.
2.Indonesia tidak satu suara dalam menyikapi kasus ini, ini terlihat ketika duta besar RI untuk Malaysia dan Menteri luar negeri melakukan hearing dengan DPR untuk klarifikasi masalah tersebut. Dua pihak yang seharusnya memperjuangkan tidak satu suara dalam memberikan keterangan, bagaimana mau berjuang kalau tidak bersatu.
3.Dari awal terlihat kerdilnya mental pejabat di kedutaan Indonesia dengan menekan para petugas KKP tersebut untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan pihak Malaysia. Penulis percaya bahwa ini sedikit banyak mereka telah mendapat tekanan dari pihak Malaysia dan pihak kedutaan Indonesia di Malaysia. Disini saja terlihat bahwa sesama pejabat negara (petugas KKP dan kedutaan RI) tidak mempunyai nasionalisme.
4.Informasi yang sampai ketelinga msyarakat yang tidak berimbang dari pemberitaan media. Kebanyakan memberitakan akibat tanpa menyampaikan fakta dan sebab. Sehingga tercipta opini dimasyarakat bahwa Malaysia lah sepenuhnya yang salah.
Dari beberapa alasan diatas maka penulis berpendapat Indonesia tidak akan menang dalam hal diplomasi, mau dibawa kemanapun perjuangannya. Satu-satunya cara untuk menghindari sengketa perbatasan adalah dengan memberikan perhatian yang cukup kepada daerah peratasan tersebut. Jangan bersifat reaktif dalam menyikapi masalah perbatasan tetapi kita harus bersifat aktif dalam menjaga daerah perbatasan tersebut. Termasuk didaerah Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan negara Philipine. Dari berita yang beredar bahwa masyarakat di perbatasan sana lebih menguasai bahasa Tagalog daripada bahasa Indonesia, mereka bertransaksi sehari-hari dengan pihak Philipine. Bahkan siaran televisi pun yang mereka lihat adalah siaran dari negara tersebut.
Lain lagi masalah yang terjadi di daerah Kalimantan, dari informasi yang beredar bahwa di beberap titik sudah lebih dari 100 meter pergesaran wilayah Indonesia ke Malaysia.
Keempat, masalah TKI
Dari beberapa kali kunjungan penulis ke negeri jiran tersebut. Penulis banyak bertemu dengan warga Indonesia yang sedang mencari penghidupan di negera Malaysia yang meliputi berbagai bidang. Diantaranya sebagai pekerja di kebun sawit, pekerja rumah tangga, kuli bangunan, dosen, pedagang dan banyak lagi yang lainnya. Banyak dari mereka datang kesana dengan tidak formal (Malaysia: pendatang haram) atau awalnya datang dengan cara legal tapi selanjutnya tidak memperpanjang izin tinggal sehingga menjadi pendatang haram. Mereka inilah yang banyak bermasalah disana.
Disini terlihat posisi para pekerja dari indonesi sangat lemah, bagaimana mereka menuntut haknya kalau untukbersuara saja mereka ngak bisa. Jika mereka bersuara maka mereka langsung ditangkap dan dikenakan tuduhan sebagai pendatang haram sehingga kasus pelecehan dan tidak dibayarkannya hak mereka tidak sempat muncul kepermukaan. Seharusnya pejabat berwenang dan masyarakat Indonesia memperhatikan masalah legalitas sebelum pergi mancari penghidupan di negara lain.
Dari beberapa contoh kasus diatas penulis berpendapat bahwa memang posisi tawar pemerintah RI terhadap negara Malaysia memang sangat lemah. Penulis yakin pemerintah terutama presiden SBY menyadari hal itu sehingga mereka tidak berani untuk memperjuangkan masalah-masalah tersebut (perjuangan setengah hati), mereka sudah tahu hasilnya yaitu mereka akan kalah dalam berdiplomasi. Maka inilah yang kita rasakan sekarang ini (hanya bisa mengelus dada), energy kita habis untuk debat kusir dan bercuap-cuap kesana kemari mulai dari rakyat jelata sampai ke pejabat tingkat pusat tanpa ada solusi yang konkrit dari pemerintah. Tentu saja yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah media yang mendapat sangat banyak sumber berita (rating).