Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Memahami Sabda Raja Jogja, Memahami Tradisi Jawa

9 Mei 2015   13:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 234 2
Akhirnya Sri Sultan HB X mengeluarkan penjelasan juga mengenai Sabda Raja yang telah dikeluarkannya beberapa waktu lalu. Sabda Raja itu memang telah menimbulkan kesimpangsiuran, baik pada masyarakat yang sebagian masih menganggap Sultan sebagai sesembahan yang dijunjung tinggi, maupun kalangan kerabat keraton, yang terindikasi menentang dikeluarkannya Sabda Raja tersebut. Saya tidak akan menulis lebih jauh mengenai konflik internal dan potensinya ke depan, karena dirasa ora ilok (tidak pantas), sebagai kawulo alit menilai para bangsawan itu. Tentu (seharusnya) mereka sebagai trahing kesumo rembesing madu (keturunan raja), memiliki kearifan dan kematangan tersendiri dalam menanggapi permasalahan dan mengelola konflik yang timbul. Ya, semoga saja demikian.

Tulisan kali ini hanya akan mencoba menguraikan pemahaman terhadap 'penjelasan' Sri Sultan terkait Sabda Raja yang telah dikeluarkannya sebagaimana dapat disimak dalam berita Kompas berikut: Sultan HB X: Sabda Raja dan Dawuh Raja itu Perintah Allah Lewat Leluhur. Mengapa saya menggunakan tanda petik dalam menuliskan kata 'penjelasan', karena sebenarnya 'penjelasan' tersebut adalah merupakan sabda raja yang lain, yang sebenarnya tidak untuk dijelaskan lebih lanjut, namun hanya untuk diterima dan dipahami. Dalam penjelasan tersebut, beliau menyampaikan bahwa Sabda Raja yang dikeluarkannya merupakan perintah Allah lewat leluhur. Mereka yang terbiasa berpikir rasional, mungkin akan terperanjat dan tidak habis pikir dengan penjelasan tersebut (sebagaimana juga sebenarnya saya ketika membaca penjelasan tersebut pertama kali). Penjelasan semacam itu juga dapat memicu kecaman, bahkan cibiran dari berbagai pihak yang mungkin tidak mengenal kultur Keraton dan masyarakat Jawa pada umumnya. Berbagai komentar dapat dipantau dalam media sosial, mengenai penilaian sikap Sultan tersebut sebagai sikap yang tidak jelas, ambigu, arogan, bahkan mungkin merupakan pemahaman keagamaan yang keblinger.

Memang, saya sendiri sebagai anak relatif muda yang dibesarkan dalam tradisi Jawa (dahulu), masih juga sulit memahami sebagian tradisi Jawa, misalnya kebiasaan membuat sesajen untuk upacara-upacara yang dilakukan pada waktu peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian juga pernikahan. Kentalnya peninggalan tradisi animisme, juga budaya sebelum masuknya Islam menyebabkan kebiasaan-kebiasaan tersebut rentan mendapat tentangan oleh generasi muda, terutama yang mendapatkan pendidikan rasional sekaligus keagamaan yang mengkota. Akibatnya, dapat dijumpai saat ini, banyak praktik-praktik yang dilakukan oleh keluarga muda yang sudah terlepas dari beragam tradisi yang relatif rumit dan melelahkan itu. Ditambah lagi dengan kesibukan, munculnya beragam fasilitas praktis untuk upacara-upacara sakral, serta pragmatisme dalam menjalani hidup, menyebabkan beragam tradisi tersebut perlahan hilang.

Tak mengherankan, penjelasan Sri Sultan yang bagi banyak orang dinilai irrasional tersebut menjadi cukup mengagetkan, juga mengherankan, karena pernyataan yang didasari oleh hal-hal irrasional di tengah masyarakat yang semakin rasional ini, tentunya merupakan keberanian tersendiri. Hal ini karena pernyataan tersebut justru memicu perlunya penjelasan lebih panjang, karena ada banyak kabut-kabut yang tidak tersingkap, bahkan membuat kabut ketidakjelasan tersebut menjadi lebih tebal. Oleh karena itu, mengulangi hal yang sudah saya tuliskan di depan, penjelasan tersebut hakikatnya adalah sebuah Sabda Raja yang lain, yang hanya harus diterima, bukan untuk dipertanyakan dan didiskusikan.

Terakhir, sebenarnya ada poin penting yang disampaikan Sri Sultan terkait dengan penjelasan yang disampaikannya, sebagaimana dituliskan dalam berita Kompas tersebut, yaitu: Sabda Raja dan Dawuh Raja jangan diterjemahkan menggunakan pikiran, namun menggunakan rasa dan hati. "Orang Jawa itu tidak hanya dengan pikiran. Namun di-penggalih, menggunakan rasa dan hati," tuturnya.

Di situlah mungkin semua konsep kehidupan dan kekuasan masyarakat Jawa bermula. Dengan roso-lah semua hal harus diselesaikan, sehingga akan menimbulkan harmoni. Namun harmoni seperti apakah yang akan dicapai dalam gonjang-ganjing sekarang ini, ketika roso sebagai dasar untuk melangkah seringkali terasa sumbang dan cemplang? Ah, itu kan urusannya para bangsawan itu, tentu mereka lebih tahu seperti roso pangroso yang harus dipergunakan untuk menyelamatkan kerajaan yang merupakan warisan nenek moyang itu...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun