Sebelum itu, pada era 60an dan sebelumnya, banyak ditemui di Jawa, terutama di perdesaan, nama-nama yang sangat khas yang biasanya hanya terdiri dari satu suku kata, seperti Paimo, Paijo, Panut untuk laki-laki, dan Painah, Paikem, Jinah untuk perempuan. Nama-nama itu biasanya akan berganti ketika yang bersangkutan sudah beranjak tua, menjadi nama-nama yang berkesan arif, misalnya Wirosetro, Hadiharjito, Sumarah dan sebagainya. Perubahan nama ini dimaksudkan agar yang bersangkutan ikut berubah menjadi orang tua yang arif dan bijaksana. Pola-pola perubahan nama orang tersebut sepertinya semakin sulit ditemui oleh mereka yang lahir setelah era 70an dan 80an.
Pada perkembangannya, nama-nama anak di Jawa mengalami perubahan pola, terutama di era 90an dan 2000an. Pengaruh masuknya pengaruh asing, misalnya dengan adanya internet dan buku-buku referensi nama anak menjadikan nama anak-anak yang lahir pada era tersebut banyak dipengaruhi oleh nama-nama asing. Saat ini, tidak asing lagi kita menemui anak di Jawa yang diberi nama Zahra, Alifa, Zafira yang mendapat pengaruh dari bahasa Arab. Ada juga yang mendapat pengaruh bahasa Latin atau Eropa, misalnya Credentia, Amora dan sebagainya. Sulit pada saat ini kita menemukan anak-anak yang memiliki nama asli Jawa yang sangat Indonesia, misalnya Agus, Bambang dan Joko, atau Wulan, Sari dan Endang. Bahkan di perdesaan, kita jangan heran menemui anak dengan nama yang sangat menginternasional.
Ya, mungkin ini salah satu bukti bahwa globalisasi sudah merasuk ke segenap relung masyarakat kita. Asal hal itu tidak membuat kita terserabut, saya kira tidak menjadi masalah. Asalkan kita tetap ingat, bahwa kita hidup di Indonesia yang memiliki budaya dan kekayaan tradisi tersendiri.