Esemka dengan demikian dapat diibaratkan dengan SO 1 Maretnya Letkol Soeharto waktu itu, yang mampu mengangkat nama beliau ke kancah nasional, walaupun dalam rentang waktu yang jauh lebih lama (17 tahun kalau dihitung dari 1949 - 1966). Esemkanya Jokowi mungkin menimbulkan dampak yang jauh lebih cepat dan luas, tidak terlepas dengan dukungan media baik cetak, elektronik maupun online yang mampu menyebarkan berbagai isu dengan instan. Juga tidak dapat diabaikan keberadaan media sosial sebagai 'pelantang' sebuah isu hingga mampu bergulir seperti bola salju.
Akhirnya, meskipun diragukan banyak kalangan, misalnya Mendikbud waktu itu M. Nuh (lihat berita ini) yang menilai mobil tersebut dibuat tanpa riset yang mendalam, Esemka sukses mengangkat nama Jokowi terus melambung, dan seolah menjadi golden ticket baginya untuk bertarung dalam pemilihan Gubernur DKI maupun Presiden RI nantinya. Pertanyaannya, salahkah hal tersebut dilakukan oleh beliau, yang seolah peselancar yang sangat handal menaiki isu Esemka tersebut, hingga sukses membawanya ke Istana Negara?
Jawabannya menurut saya sah-sah saja. Sebagai politisi yang meskipun waktu itu baru pada level lokal, beliau dengan jeli mampu memanfaatkan euforia publik, dibumbui oleh keberpihakan media yang menjadikannya media darling, yang akhirnya menjadi kombinasi yang powerfull dan dahsyat. Yang patut menjadi gugatan sebenarnya lebih ke aspek etika. Apakah cukup pantas Esemka hanya menjadi ajang untuk menjadikan seseorang menebar ESEM (senyum) kemenangan, namun di sisi lain - mencermati isu-isu mutakhir tentang kerjasama dengan Proton untuk pengembangan mobil nasional - meninggalkan ASEM bagi banyak dari kita yang sudah terlanjur percaya dengan janji-janjinya? Tidak dimungkiri, banyak dari mereka yang terpesona oleh beliau akhirnya mulai meninggalkan, karena banyaknya janji dan citra yang jauh panggang dari api.
Ya, jangan sampai mobil buatan anak-anak SMK itu menjadi sekedar mencari 'esem' dan meninggalkan 'asem' buat kita-kita. Semoga.