Pertama, cara dokter itu menerima pasiennya. Beliau tidak memanis-maniskan penampilan, beliau bahkan menyampaikan kepeduliannya dengan cara marah, misalnya pada pasien yang tidak mampu tapi menanyakan berapa ongkos yang harus dibayar, sesuatu yang menunjukkan kematangan jiwa seseorang yang tidak memerlukan puja puji dari orang yang ditolongnya, bahkan mencoba menyembunyikan pertolongan itu seolah bukan sesuatu yang patut dinilai.
Kedua, cara dokter itu menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara. Dengan tatapan mata yang teduh dia menjawab pertanyaan, kadang seperti heran mengapa hal yang dilakukannya dianggap begitu besar bagi orang lain. Itulah ciri-ciri orang besar, tidak menyadari kebesarannya.
Ketiga, dia melakukan kegiatan sosial, dengan tidak mengabaikan kebutuhan yang harus diberikan kepada keluarganya. Meskipun sudah berumur dan sepertinya hanya tinggal bersama istri, sehingga tanggungannya terhadap keluarga tidak lagi terlalu besar, adanya jaminan penerimaan per bulan untuk keluarga tetap merupakan hal yang penting. Di sini, manajemen rumah tangga yang dilakukan dr Lo sangat baik, tentu didukung oleh beberapa donatur dari luar (salah satunya muslim yang memberinya bantuan per bulan secara rutin, tanpa mau disebutkan namanya). Sering juga beberapa pasien memberinya lebih dari yang seharusnya, sehingga dapat dilakukan subsidi silang. Di luar itu, dukungan dari istri dan keluarga tentu merupakan aspek yang tidak dapat diabaikan. Sungguh, mereka adalah keluarga yang hebat.
Karena kesemuanya itu, tak heran pada waktu kerusuhan Solo tahun 1998 lalu, banyak warga pribumi yang dengan sukarela menjaga rumah dokter itu, dan menandainya sebagai milik pribumi. Apa yang dilakukan oleh dr Lo ini seharusnya membuka mata kita, yang masih sering terstigma oleh karakteristik manusia berdasarkan ras, suku maupun agama. Seharusnya kita memandang semua manusia sebagai manusia yang mampu menjadi rahmat bagi sesama, siapapun mereka.