Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kasih Sayang dr. Lo

16 Februari 2015   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:06 59 1
Malam itu, sambil menulis saya menonton acara di sebuah stasiun TV yang memunculkan profil seorang dokter dari Solo, namanya dokter Lo, seorang dokter keturunan Thionghoa yang sudah mulai lanjut, sehingga harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Dokter ini istimewa, karena beliau tidak menerapkan tarif yang ketat bagi pasiennya, malahan beliau sering menggratiskan pasien yang tidak mampu. Bukan hanya biaya pengobatan, beliau bahkan membayari obat-obatan yang diperlukan oleh pasien. Cara dokter itu mengekspresikan dirinya menurutku sangat tulus, tidak dibuat-buat. Saya mencatat beberapa hal yang membuat saya berkesimpulan seperti itu, walaupun mungkin tidak semuanya dapat dideskripsikan dengan mudah.

Pertama, cara dokter itu menerima pasiennya. Beliau tidak memanis-maniskan penampilan, beliau bahkan menyampaikan kepeduliannya dengan cara marah, misalnya pada pasien yang tidak mampu tapi menanyakan berapa ongkos yang harus dibayar, sesuatu yang  menunjukkan kematangan jiwa seseorang yang tidak memerlukan puja puji dari orang yang ditolongnya, bahkan mencoba menyembunyikan pertolongan itu seolah bukan sesuatu yang patut dinilai.

Kedua, cara dokter itu menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara. Dengan tatapan mata yang teduh dia menjawab pertanyaan, kadang seperti heran mengapa hal yang dilakukannya dianggap begitu besar bagi orang lain. Itulah ciri-ciri orang besar, tidak menyadari kebesarannya.

Ketiga, dia melakukan kegiatan sosial, dengan tidak mengabaikan kebutuhan yang harus diberikan kepada keluarganya. Meskipun sudah berumur dan sepertinya hanya tinggal bersama istri, sehingga tanggungannya terhadap keluarga tidak lagi terlalu besar, adanya jaminan penerimaan per bulan untuk keluarga tetap merupakan hal yang penting. Di sini, manajemen rumah tangga yang dilakukan dr Lo sangat baik, tentu didukung oleh beberapa donatur dari luar (salah satunya muslim yang memberinya bantuan per bulan secara rutin, tanpa mau disebutkan namanya). Sering juga beberapa pasien memberinya lebih dari yang seharusnya, sehingga dapat dilakukan subsidi silang. Di luar itu, dukungan dari istri dan keluarga tentu merupakan aspek yang tidak dapat diabaikan. Sungguh, mereka adalah keluarga yang hebat.

Karena kesemuanya itu, tak heran pada waktu kerusuhan Solo tahun 1998 lalu, banyak warga pribumi yang dengan sukarela menjaga rumah dokter itu, dan menandainya sebagai milik pribumi. Apa yang dilakukan oleh dr Lo ini seharusnya membuka mata kita, yang masih sering terstigma oleh karakteristik manusia berdasarkan ras, suku maupun agama. Seharusnya kita memandang semua manusia sebagai manusia yang mampu menjadi rahmat bagi sesama, siapapun mereka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun