Kita menolak debu karena kotor, tapi justru hari ini kita menerima abu yang mengotori kita.
Kita tidak suka berabu karena mengganggu penampilan, tapi justru hari ini kita nyaman dengan debu yang menempel di tubuh kita, bahkan kita sendiri menyerahkan diri untuk ditaburi abu.
Kita membersihkan tubuh setiap saat hanya karena debu melekat pada kita, tapi hari ini, kita membiarkannya terus menempel pada diri tanpa kita bersihkan..
Kita sembunyi ketika tubuh berabu, tetapi hari ini kita memamerkan debu, di kening kita. Debu yang tak dianggap, tapi menjadi penting dan bermakna.
Kita dan debu ibarat Pencipta dan ciptaan, Tuhan dan kita, penebus dan yang ditebus...Kita hanyalah debu di alas kaki Tuhan.
Menerima abu mengingatkan pada tindakan kita yang kadang abu-abu, kotor dan penuh debu.
Debu adalah cermin untuk kita berkaca.. sadar muka penuh luka. Kita hanyalah abu dan akan kembali menjadi debu.
Abu dan debu tanda ketaklayakan diri dihapan Tuhan. Abu mengingatkan kita tentang siapa diri kita. Abu menjadikan kita sadar untuk jalan pulang.
Angin membangunkan debu dan menempelkan pada tubuh, tapi Tuhan membersihkannya dari jiwa yang merana. Kita seperti debu di alas kaki Tuhan.
Atambua, 17.02.2021