aku siap menampung
kembali sejarah,
katanya, dengan angkuh yang kukuh.
di atasnya,
keran yang sudah kesal
terpaksa kembali
menahan diri, sambil berharap
ada yang terkesiap,
lalu menggeliat mengalirkan
dingin air ke
tabung-tubuhnya.
sudahlah. mengaku saja
kau kalah,
kata bak mandi.
tapi keran,
yang sudah berkali-kali
menjadi abdi bagi
sesuatu
yang ia nanti,
tak ingin menyerah.
kali ini, katanya,
giliranku memaksa gagu
kesombonganmu itu.
bak mandi,
terpejam tersenyum,
membiarkan
jeda
hadir tiba-tiba
di antara
mereka.
beberapa saat setelah itu,
seseorang
membuka pintu. saklar yang sedari
tadi bersikap wajar,
menerima perintah
lewat
sentuhan sebuah.
dingin air menyeru sesuatu
yang mereka
anggap guru
: keran itu.
sesuatu
itu menyerahkan
mereka kepada apa yang
tak pernah
mereka tahu
: bak
mandi itu.
Bogor.September.2011
Serbet yang Selalu Meragu
ia selalu merasa tahu
kapan tangan itu menyentuhnya
dan ia begitu saja
dipaksa menyerah tanpa
sempat merasa marah.
sesungguhnya, ia tak yakin
tangan itu
akan bisa menjadikannya
sesuatu yang berharga
bagi si pemilik tangan, ataupun
dirinya sendiri. ia
juga tak yakin
setelah prosesi itu selesai
si pemilik tangan tak akan abai
lalu ia menjadi
sesuatu lain yang
sama
saja keadaannya.
sejauh ini,
yang membuatnya
menyerah, barangkali
suatu kenyataan
: ia merasa sangat nyaman
saat disentuh si tangan.
juga barangkali
yang tak bisa ia pungkiri
: tangan itu
tak pernah ragu
terus
mengampu.
apapun itu,
ia tahu,
atau merasa tahu,
ketika semua
seolah usai,
tak lagi ada pertanyaan
yang membutuhkan
jawaban,
tak lagi ada keraguan
yang perlu
diperselisihkan.
Bogor.September.2011
Garpu
perjamuan bukanlah perjamuan.
yang dijanjikan akan tiba
bisa jadi sesuatu yang menyepi,
menjauhi. rusuk tertusuk.
daging mengering. setiap kali
maut tercerabut, ada getir
yang lebih menyihir
dari kilau petir. bangkit
dari rasa sakit, ia mulai mengerti
mengapa piring dan pisau
seperti dering yang sengau,
menjadi musuh sekaligus teman,
sekutu sekaligus lawan.
sedangkan hidangan,
yang teronggok tak berdaya
di hadapannya,
adalah korban. ia barangkali
salah satu yang
terkhianati perjamuan itu.
sayang sekali, gelas-gelas
tak terisi anggur.
juga roti, remahnya tak terjamah
bahkan oleh mata yang buta.
sedikit-sedikit, sementara
detik berganti menit,
ia cemaskan selalu
hal yang sama
: pengakuan dosa
yang dusta belaka.
hingga nyaris tak terasa
jeda merupa aroma,
terhirup teregup.
sekalipun terperi, tak pernah
tampak ia berseri.
sejak awal,
hanya ajal yang kekal,
menjelma renjana
baginya.
2011
Pasta Gigi
pagi menggantikan
dini hari,
tapi suara seseorang itu belum
muncul-mengambul di
dinding-dinding
yang masih beku. gumamnya,
aku masih
harus sabar menanti.
kembali, ia bayangkan
gempal tubuhnya
disakiti dengan hati-hati.
tangan seseorang itu
menggenggam
seperti hendak melepaskan
sesuatu yang lain.
sampai saat ini,
ia tak juga tahu sesuatu itu.
yang ia tahu,
hanya satu
: ia diciptakan
untuk
sempurna dikorbankan.
selalu ia ingat,
betapa ngilu menjadi lipu
ketika perlahan-lahan
dingin pasta
keluar meninggalkannya.
ada yang terasa
: sakit.
ada yang tersisa
: rindu.
tanpa dinyana,
ia menjadi
hamba sesuatu yang
menyakitinya.
tanpa dinyana,
ia begitu
setia menyaksikan
dirinya
dikorbankan.
gumamnya,
aku masih harus
sabar
menanti.
Bogor.September.2011
Sumbu dan Rindu yang Lipu
terbakar.
ia saksikan dirinya terbakar.
dan abu mulai
diberitakan hitam arang
yang suatu saat
menjelma jeda panjang.
tak sesiapa menaruh iba padanya.
tak sesiapa
meniupkan renjana
ke tegak rindunya.
perjamuan,
masih jauh dari usai.
doa-doa,
kian masai.
retina mana mampu menangkap-lengkap
kesunyian yang muncul tiba-tiba,
tak bisa lagi dipastikan.
ia, yang kembali berkorban,
menyeru haru
pada sesuatu yang dirindunya itu.
waktu, katanya,
adalah juga sumbu
seperti aku.
kelak ia akan menjadi sesuatu
yang tak pernah
sungguh kita tahu.
malam jatuh
dan terasa jauh,
begitu jauh.
seumpama rindu
yang kian lipu
di tabah
tubuhnya
yang
mengampu.
Bogor.September.2011
Spons
aku memang tak mencengkeram geram
kurus jarimu setiap kali diremas-
gemasnya busa tubuhku. tak ada
tulang yang bisa retak tak ada
darah yang mungkin limpah. seolah-
olah engkau kuasa dan aku dalam
genggammu adalah dosa. dan seperti
biasanya semacam prosesi memberimu
janji akan hadirnya diri yang
sungguh suci. di tubuhku, sesuatu
engkau lekatkan untuk terhisap
terperangkap. di kering rahimku
yang telah basah, engkau bisikan
sebuah kata dengan gelisah: berkah.
dan engkau berharap aku terkesiap
menyadari di kurus jarimu segala
kata telah menjelma, di kasar
genggammu sebuah bahasa kembali
tercipta: dusta. namun aku
barangkali terlalu pintar untuk
menyelingar sementara putih busa
telah meruah di rapuh tubuhku dan
engkau begitu saja menjadikanku si
pendeta yang merasa tugasnya
membuat bebas piring dan gelas
dari noda, memaksa lepas segala
aroma dari mereka. sekarang,
kukatakan padamu, aku bukanlah
hamba yang bisa kau paksa untuk
lupa. aku bukanlah pemandu tiap-
tiap mereka yang memang ragu. aku
barangkali sebuah guci yang
sungguh tabah menanti-nanti, akan
terisi suatu hari kosong tubuhnya
dengan ilusi. ya, ilusi.
Bogor.November.2011