Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mau Jadi Apa?

3 Desember 2011   16:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52 65 1
Seorang ayah berdiri bersandar pada sebuah rak sebuah toko buku, dengan bangga memandang anaknya yang sibuk membolak-balik memilah-milah bola dunia yang akan diminta kepada si ayah untuk membelikannya. Tidak ada kekhawatiran sedikitpun dalam benak si ayah mau jadi apa dan bagaimana si anak kelak ketika beranjak dewasa dan memulai hidup mandiri, baginya seorang anak akan menjadi baik bila dididik dengan baik dan penuh kasih sayang.

Hampir tiap bulan si-ayah mengajak anaknya pergi ke-toko buku. Hari ini si-anak sangat bersemangat, dia berangan-angan kelak ketika dewasa bisa menjadi seorang pelaut, dengan begitu dirinya bisa berpetualang keseluruh penjuru dunia. Dirinya sangat terobsesi dengan buku yang menceritakan Napoleon yang dibelikan ayahnya bulan lalu.

”Aku ingin menjadi seperti Napoleon yah, dia gagah berani, banyak tempat yang telah dia datangi”, si-anak berkata kepada ayahnya.

”Ini namanya apa yah?”, sambil membopong sebuah bola dunia dan menunjuk kesebuah gugusan pulau si-anak bertanya pada ayahnya.

”Oh...itu, itu namanya Jepang”.

”Jepang yah..?”.
”Benar, itu negrinya para ksatria. Konon dahulu ketika sang dewa perang menyepuh baja dan memasukannya kedalam lautan lalu mengagkatnya kembali untuk dijadikan sebuah pedang, tercecerlah kembali lumpur yang terbawa hingga terbetuklah gugusan pulau tersebut”.

”Sekarang orang-orang jepang mewarisi jiwa ksatria, jiwa kesatria yang pantang menyerah, setia kawan dan rela mengorbankan apa saja demi negri yang dicintainya”, lanjut ayahnya.

”Wah hebat ya yah orang jepang itu..., besok kalau sudah besar aku pingin jadi pelaut yang memiliki jiwa satria yah”, si-anak menanggapi lalu dibalas dengan senyuman si-ayah.

”Yah...yah...”, sambil menarik-narik tangan ayahnya, ”kalau yang ini apa namanya yah?”.

”Kalau yang itu negrinya orang-orang pintar, itu namanya Cina”.

”Artinya banyak orang pintar dong yah?”.

”Cina itu negri yang sangat besar. Orang-orang Cina memang terkenal dengan kepintarannya, banyak penemuan-penemuan yang sangat mendasar yang mengawali penemuan-penemuan yang lebih besar di sana”.

”Kalau begitu nanti kalau sudah besar aku mau jadi pelaut yang memiliki jiwa ksatria dan pintar yah”.

”Trus yang ini namanya apa yah..?”, si-anak menunjuk wilayah timur tengah(Irak, Iran, Palestina dan sekitarnya).

”Orang biasa menyebut timur tebgah nak”, terang ayahnya.

”Itu tempatnya para nabi dan pemimpin-pemimpin besar berakhlak mulia. Dahulu mereka pernah menguasai dua pertiga dunia”.

”Yang benar yah?!”, dengan terkejut si-anak bertanya dan dibalas dengan anggukan si ayah.

”Yah aku pingin menjadi pemimpin yang hebat”. Si-ayah memandang anaknya dan tersenyum lebar.

”Ada sebuah negri yang tak kalah hebatnya nak”, Ucap si-ayah pada anaknya.

”Dahulu kala Tuhan pernah menciptakan Surga Firdaus, tempat yang sangat indah, tempat yang memberikan ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuninya. Surga itu diciptakan dengan sari-sari kenikmatan, beberapa diantara sari-sari kenikmatan tersebut tercecer dan jatuh ke-bumi hingga terciptalah sebuah Negri yang terdiri dari gugusan kepulauan”.

”Terus yah”, pinta anaknya.

”Negri yang indah dan subur, rakyatnya tentram dan sejahtera, segala kebutuhan tercukupi dengan baik, mereka merasakan kebahagiaan yang tiada tara, apapun yang diinginkan pasti tersedia. Pajang Pujung Pasir Wukir, Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja”.

”Apa nama negri itu yah?”.

”Negri itu bernama Nusantara”.

”Lalu dimana letak negri itu yah?”.

”Anakku, negri itu sekarang sudah tidak ada lagi”.

”Sudah nggak ada yah, kenapa yah?”, si-anak bertanya dengan keheranan.

”Karena rakyatna kufur nikmat, mereka tidak mau bersukur atas apa yang telah diberi Tuhan sehingga mereka dihukum dengan berbagai cobaan dan bencana yang bertubi-tubi datangnya, hingga pada akhirnya negri tersebut hancur meninggalkan sisa-sisa menyakitkan yang masih terasa sampai saat ini”.

”Ingatlah nak, dirimu boleh jadi apa saja yang menurutmu baik, berbuat dan berkaryalah semaumu, namun jangan sampai dirimu kufur terhadap nikmat yang diberikan tuhan padamu, apapun yang terjadi, baik atau burukkah keadaanmu, dirimu harus selalu menjadi pemimpin bagi dirimu sendiri, pandai bersukur kepana yang kuasa, berani bagai seorang kesatria dalam menghadapi cobaan, dengan begitu dirimu akan selamat sampai tujuan dalam mengarungi lautan kehidupan”.

Jogjakarta, Januari 2008

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun