Pagi ini seperti biasa aku berangkat ke kampus. Pukul 10.20 aku berangkat ke kampus diantar supir angkot D95 jurusan Sibiru-biru - Diski yang dalam rutenya melewati kampusku tercinta, Kampus Hijau USU. Tepat pukul 11.00 angkot yang kunaiki tiba di Simpang Sumber (Aku tidak tahu mengapa dibilang simpang sumber, tetapi kata abang-abang seniorku dahulunya di simpang tersebut terdapat sebuah warung yang bernama Warung Sumber yang cukup dikenal. Mungkin nama simpang itu berasal dari nama warung tersebut). Aku berjalan santai menuju kampusku dengan santai karena kebetulan pada hari ini aku tidak ada kuliah. setibanya di Etnomusikologi, jurusan yang kuambil di USU, aku melihat seorang pria yang menaiki sepeda dengan plat kendaraan yang bertuliskan KELILING INDONESIA berhenti di parkiran jurusanku. Pertamanya aku biasa saja melihatnya. Kemudian pria itu mendatangi aku dan bertanya "Numpang tanya mas, kantor dekan dimana ya?" Aku langsung menjawab, "Oh, kantor Dekan ada di depan, mas. Mari saya antar." Kami berdua pun melangkah ke kantor Dekan. Sambil berjalan akupun mulai melancarkan pertanyaan kepada mas tersebut (Maklum, aku memang dikenal sebagai mahasiswa yang banyak omong di kampus, sampai-sampai ada seorang mahahasiswa yang mengira aku itu gila. Hhhahahaha). " Kalau Boleh tahu ada keperluan apa ya mas?" tanyaku. "Ohh, saya dalam misi mengelilingi Indonesia dengan menggunakan sepeda, mas. Jadi saya ingin meminta tanda tangan dari Dekan untuk pembuktian bahwa saya pernah ke kampus ini," jelasnya sambil menenteng sebuah buku catatan. Spontan aku membelalakkan mataku. Aku terkejut ternyata orang yang disampingku ini seorang pria yang luar biasa dengan misi yang luar biasa pula. "Ahh, masa sih mas ? Jadi sepeda yang di parkir itu sepeda yang mas pakai untuk keliling Indonesia?" tanyaku lebih jelas lagi untuk meyakinkan apakah ini benar-benar nyata. "Iya mas, itu sepeda yang saya gunakan," katanya. "Hebat ya mas, ungkapku sambil terus memandangi pria yang tergolong agak bulat ini (tingginya kira-kira 150 Cm dengan berat badan 70 Kg). Aku baru sadar, ternyata kami belum saling kenal. "Oh iya, saya Ucok," kataku sambil menyodorkan tanganku."Saya Ismail, balasnya sambil menjabat tanganku.Sebelum sampai di kantor Dekan, beruntungnya (kalo kata Syahrini, "Alhamdulilah ya, kebetulan banget. Hhhsahaha), kami melihat Dekan FIB (Fakultas Ilmu Budaya yang dahulunya bernama Fakultas Sastra) sedang berbicara dengan seseorang di depan mushola FIB. "Itu Dekan kita mas, Pak Syahron Lubis," ungkapku sambil menunjuk Pak syahron. Kami pun langsung menjumpai Dekan dan menyalaminya. "Saya Ucok, mahasiswa Etnomusikologi. Ini ada orang yang ingin bertemu sama bapak," ungkapku sambil menunjuk kepada Mas Ismail. Aku pun meninggalkan mereka bercakap-cakap dikarenakan dalam waktu bersamaan aku harus ke kamar mandi karena tiba-tiba aku ingin buang air kecil (faktor terkejut jumpa orang hebat mungkin ya. Wakakakakak). Selepas dari kamar mandi aku melihat Pak Syahron, Dekan kami sedang menuliskan sesuatu di buku kecil yang tadi dipegang Ismail. Ternyata buku itu bertuliskan tanda tangan orang-orang yang dijumpai oleh Mas Ismail. Kulihat dekan kami menuliskan kata: Semoga selamat dan sukses dalam melakukan perjalanannya mengarungi nusantara dengan menggunakan sepeda. Syahron Lubis disertai dengan NIP. Setelah itu kami meminta cap stempel di kantor tata usaha dan kami pun meminta ijin untuk kembali ke Etnomusikologi. Baru beberapa langkah kami berjalan, Pak Syahron memanggil kami dan bertanya: "Mau kemana lagi setelah ini?" Saya akan ke Fakultas Hukum dan Ekonomi pak," jawab Mas Ismail sambil menghampiri pak Dekan. "Kalau begitu semoga sukses ya," ungkap Pak Dekan sambil mengeluarkan selembar uang 50.000 dari dompetnya dan menyalamkannya kepada Mas Ismail. Mas Ismail lalu menerima pemberian tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Kami pun kembali ke kampus. Sebelum sampai di jurusan, aku mengajak mas Ismail untuk photo bersama di Black Canal, sebutan untuk tempat dimana aku dan kawan-kawan mahasiswa Etnomusikologi lainnya sering menghabiskan waktu istirahat. "Ini
base camp kita mas ," jelasku sambil mempersilahkan mas Ismail duduk di sebelahku. Lalu aku memberikan
handphone ku kepada temanku untuk mengabadikan momen yang sangat langka ini. Temanku ini adalah seorang mahasiswa Sejarah USU yang kebetulan juga adalah reporter Pers Mahasiswa. Dia kuajak ikut denganku karena aku menganggap kedatangan Mas Ismail ini merupakan sebuah momen yang layak untuk diangkat sebagai bahan berita buat media massa mereka. Aku pun meninggalkan mereka untuk berwawancara, sementara aku melampiaskan rasa keingin-tahuanku akan Mas Ismail dengan memperhatikan detail dari sepeda yang ditungganginya. Sebuah sepeda model baru yang berwarna sedikit lusuh mungkin dikarenakan debu dan kotoran yang didapatnya sepanjang perjalanannya. Tampak bermacam-macam sticker bertempelan di setiap sisi sepedanya. Ada yang bertuliskan nama-nama komunitas sepeda di Indonesia, dan ada juga yang bertuliskan event-event kendaraan yang mungkin pernah di ikuti mas Ismail. Yang menarik perhatianku adalah plat kendaraannya yang bertuliskan KELILING INDONESIA, dan sehelai bendera Indonesia berkibar di bagian belakang sepeda ini. Aku terharu melihatnya. Aku merasakan aroma nasionalis yang cukup kental yang menjiwai sepeda ini dan dikendarai seorang yang nasionalis pula. Aku pun memuaskan diriku untuk berfoto ria di atas sepeda yang unik ini. Setelah puas berfoto, aku pun kembali menjumpai Mas Ismail untuk mengetahui tentang Mas Ismail dan apa yang sedang dilakukannya ini. Ismail, demikian namanya. Mas Ismail lahir di Indramayu pada tanggal 5 Mei 1969. Semenjak kecil dia telah bercita-cita ingin menjadi seorang penjelajah. Dan ketika menginjak umur 20 tahun, tepatnya pada tanggal 20 Juni 1989, Ismail pun memulai perjalanan bersejarahnya dengan menggunakan sepedanya. Perjalanannya dimulai dari daerah Jawa Barat, kemudian, Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan sampai saat ini dia sudah mengayuh sepedanya sampai ke Provinsi Sumatera Utara yang merupakan Provinsi ke 29 yang dia datangi dan juga Kabupaten/Kota yang ke 297dan telah menggunakan 33 unit sepeda. Dalam perjalanannya yang telah berusia sekitar 22 tahun, Ismail merasakan banyak pengalaman baik suka dan duka yang tak akan pernah dilupakannya dan akan diceritakannya kepada anak cucunya kelak. Pria yang masih lajang ini mengatakan dia pernah disandera oleh gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) ketika dia memasuki daerah Irian Jaya tepatnya di Kabupaten Nabire. Dia dianggap mata-mata oleh mereka. Tetapi, setelah berhasil membuktikan bahwa dia bukan mata-mata, dia pun akhirnya dibebaskan setelah 4 bulan disandera. Masuk agak ke dalam daerah di daerah Papua (dahulunya bernama Irian Jaya), tepatnya di daerah suku Dani, dia mengatakan bahwa dia juga pernah ditangkap. Hal yang sama juga dialaminya ketika dia memasuki daerah Timor Timor oleh gerakan Fretelin (Gerakan Perjuangan Kemerdekaan Timor_Timor kala itu) selama dua minggu, dan juga di Daerah Aceh oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Selain menghadapi manusia, Ismail juga pernah harus berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari binatang buas. Hal itu dialaminya ketika dia dalam perjalanan dari daerah Pangururan menuju Tele. Ditengan jalan dia berjumpa dengan beberapa ekor harimau. Dia sangat ketakutan sampai-sampai dia terkencing dicelananya. "Celana saya sampai basah saking takutnya," kenangnya. Ketika kutanyai tentang keluarga, Ismail dengan santai menjawab: "Gak tau kenapa ya mas, saya heran kenapa di Indonesia ini tidak ada yang mau sama orang seperti saya ini, sehingga saya sampai sekarang saya masih sendiri. Mungkin karena badan saya kecil iya mas," jawabnya sambil tertawa. "Tapi kalau secara adat/diluar hukum nasional, saya udah punya empat istri," tambahnya membuatku menjadi heran. Dia lalu menjelaskan pernyataannya. Pada perjalanan sebelumnya tepatnya di daerah kediaman Suku Dani dia mengalami penyambutan biologis yang unik. Disana dia "dihadiahi" 2 orang wanita suku setempat untuk dijadikan sebagai istrinya. Hal itu juga dialaminya ketika berhadapan dengan suku Ayamaru, sebuah suku masih di daerah Papua, serta yang terakhir di Suku Dayak Iban di Kalimantan. Selain itu ada juga sebuah pengalamannya yang kurasa lucu. Dia pernah menerima hadiah sebuah sepeda bermerk yang harganya cukup mahal, namun dia lalu menjualnya. Aku mengira dia menjualnya buat memenuhi logistik sehari-hari. Ternyata, alasannya bukan itu. "Gimana gak saya jual, habisnya lebih capek menjagainya, takut dicuri." Spontan aku dan teman-teman yang ada disitu terbahak-bahak mendengarnya, ditambah lagi ekspresi wajah Ismail terlihat sangat lugu ketika mengungkapkannya. Selama perjalanannya, Ismail mengungkapkan bahwa dia banyak mendapat bantuan baik dari pihak perusahaan maupun instansi pemerintah. Dia pernah mendapat bantuan dari sponsor. Namun semenjak tahun 1997 bantuan sponsor itu terhenti, dan diapun hanya mengharapkan sumbangan sukarela dari instansi pemerintah maupun perseorangan yang dijumpainya sepanjang perjalanannya. Lalu aku pun menanyakan alasan dia melakukan perjalanan yang terbilang fenomenal ini. Dengan tenang dia menjawab: "Semenjak kelas 4 SD saya sudah bercita-cita ingin menjadi penjelajah. Tapi sekarang saya ingin menciptakan rekor dunia, minimal mencetak rekor di MURI," tukasnya. Sekarang ini, dalam seharinya Ismail menempuh perjalanan sepanjang 40 km. Jarak ini sudah berkurang dari jarak yang biasa ditempuhnya ketika dulu masih muda. Dahulunya dia biasanya menempuh jarak sepanjang 60 km perharinya. "Udah enggak ABG lagi mas," jelasnya sambil tersenyum lebar sehingga deretan deretan gusinya yang rata tanpa gigi akibat kecelakaan yang dialaminya sepanjang perjalanan terlihat jelas dan membuat guyonannya semakin lucu buatku. Akupun melanjutkan pertanyaanku kepadanya mengenai rencananya untuk kedepan. "Dalam waktu dekat ini saya akan menyusuri daerah pesisir timur Sumatera Utara dimulai dari Lubuk Pakam, Serdang Bedagai, Tebing, Labura, dan juga Padang Lawas. Saya ingin mengakhiri perjalanan saya pada tahun 2014 di Jakarta," ujarnya. Tanpa terasa satu jam sudah kami berbincang-bincang. Ismail pun meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya ke fakultas lain. "Saya berangkat dulu ya mas," ujarnya. Aku merasa berat untuk melepaskan kepergian pria hebat ini. Namun, aku juga tidak mungkin menghambat perjalanannya yang merupakan cita-cita hidupnya. "Ohh, oke mas, semangat ya," ujarku sambil menyalam tangannya erat. Ismail pun berjalan ke arah sepedanya lalu dengan mantap dia menaikinya. Sebelum berangkat dia masih sempat berpaling dan melambaikan tangannya. Teriakan kami pun mengiringi kepergiannya. "Hati-hati di jalan ya, mas," teriak kami sambil mengiringi kepergiannya. Kibaran bendera Indonesia di belakang sepedanya pun perlahan-lahan menghilang dari pandangan kami. "Sungguh pria ini adalah orang hebat," ujarku dalam hati. Sungguh dia telah menyadarkanku bahwa Indonesia ini memiliki cerita yang sangat panjang bukan hanya sepanjang Sabang sanpai Merauke seperti yang selama ini aku nyanyikan semenjak aku SD dulu. Semoga selamat dan sukses dalam perjalananmu mengarungi nusantara ini, Mas Ismail.
KEMBALI KE ARTIKEL