Memasukkan moral ke dalam sebuah UU politik tentu akan sangat terasa ambigu, karena sebagai negara hukum, Indonesia telah memasukkan indikator-indikator kerusakan moral ke dalam UU lain, seperti UU tentang pencurian, pembunuhan, perzinahan, dan lainnya yang oleh masyarakat kita telah disepakati bersama sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku. Negara juga telah mengatur sanksi-sanksi yang akan diberikan terhadap masing-masing pelanggaran moral yang dilakukan setiap orang, Termasuk tidak diperbolehkannya seorang kriminal dicalonkan sebagai pemimpin.
Ketika bangsa Indonesia disuguhi adegan politik yang menayangkan adanya trend pertai politik mencalonkan insan pekerja seni dengan image erotis di mata masyarakat sebagai calon pemimpin dengan alasan popularitas, Â maka timbul semacam gejolak dalam masyarakat. Juga pertanyaan-pertanyaan tentang kredibilitas mereka dalam memimpin. Sayangnya kecaman-kecaman yang muncul dari masyarakat yang kontra dengan fenomena tersebut justru lebih mengarah kepada tokoh pekerja seni tersebut dan berkaitan dengan image yang selama ini telah beredar melalui media. Ketika gejolak di masyarakat mulai menimbulka keresahan, pemerintah merasa perlu bertindak dengan mempertegas undang-undang.
Saya tidak ingin berada pada salah satu sisi antara yang pro maupun kontra dengan fenomena politikus artis (atau artis politikus) maupun tentang wacana revisi UU tersebut. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa jika kita bicara masalah moral, sebaiknya terlebih dahulu kita kembalikan pada diri kita sendiri dulu. Lebih banyak masalah yang lebih penting dalam sistem politik itu sendiri yang masih perlu diperbaiki, seperti money politik maupun penegakan hukum yang telah berlaku. Â Saya percaya bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki filter moralitas dalam berpolitik, tinggal kita aktifkan saja filter tersebut, maka saya yakin kecacatan-kecacatan berpolitik pada bangsa ini akan teratasi. Saya yakin kita seluruh bangsa Indonesia masih mendambakan budaya politik yang sehat, tidak cacat dan dinamis dengan didasari sebuah rasa kebersamaan untuk memperjuangkan kemajuan bangsa.
Pada akhirnya, masalah Jupe dan Maria Eva menjadi calon pemimpin, ah kita tidak usah terlalu khawatir, karena memang bila ditilik dari segi demokrasi  siapapun warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, apalagi yang menentukan benar-benar jadi atau tidaknya juga masyarakat sendiri. Kalau memang calon pemimpin tersebut memiliki kredibilitas dibalik titelnya sebagai pekerja seni, mengapa tidak? Dan jika mereka hanya dicalonkan karena alasan popularitas dan sekedar mencari sensasi kita tanyakan saja pada partai-partai yang mencalonkannya saja.