Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book Pilihan

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

14 Juli 2024   23:08 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:13 18 0
Sejak penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengumumkan akan menerbitkan novel terbaru Eka Kurniawan akhir tahun lalu, saya termasuk yang cukup antusias menunggu karya itu. Di awal pengumuman novel itu masih berjudul Coreng Hitam dan kemudian diubah menjadi Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong sebagai judul yang diterbitkan. Judul itu membuat saya sempat terkecoh.

Novel ini, dalam pikiran saya, bakal menampilkan tokoh hewan seperti O, karya Eka sebelumnya, tetapi saya salah. Selain itu, saya juga sempat berpikir, novel ini mungkin akan lebih tebal karena penulisnya tidak menerbitkan novel lagi selama delapan tahun sejak O. Jika dikerjakan selama itu bisa saja Eka akan menghasilkan novel setebal Cantik Itu Luka. Namun, saya salah lagi. Ternyata novel teranyar Eka ini tebal hanya 133 halaman.

Novel ini mengangkat kisah tokoh Sato Reang, seorang bocah berusia belasan tahunan yang ”kehilangan kemerdekaannya” karena sosok sang ayah menginginkan dia menjadi anak saleh. Kisah yang sebenarnya sangat dekat dengan keseharian. Bukankah mayoritas dari kita semua menginginkan anak-anak kita menjadi orang baik dan sukses, sebuah atribut yang bisa membuat bangga orang tuanya?

Sato Reang adalah tokoh seperti kebanyakan anak seumuran dia. Suka keluyuran ke mana saja, bermain bola, atau sekedar ngumpul dengan teman-temannya tanpa perlu memikirkan waktu untuk sembahyang. Namun, ia tidak bisa sebebas itu pasca kulupnya disunat. ”Sudah saatnya kau harus menjadi anak saleh,” demikian kata ayahnya setelah itu.

Semenjak itu ia harus taat sembahyang lima waktu sehingga nyaris mustahil mendapat kesempatan untuk bermain dengan rekan-rekannya seperti dulu. Di saat ia bisa menyelinap pergi dan bermain, ayahnya tiba-tiba muncul seperti hantu dan membawanya pulang. Ia harus bangun subuh untuk pergi ke masjid meskipun matanya masih diserang kantuk yang tidak tertahankan. Didikan itu terus membekas setelah ayahnya meninggal. Bayang-bayang ketukan di pintu yang menyuruhnya bangun serta kemarahan sang ayah membela bola unggu dengan golok dan membakar boneka monyet, tidak pernah pergi.

Meski demikian, ia setidaknya bisa mendapat kemerdekaannya lagi setelah itu. Usai ayahnya wafat, ia mulai meninggalkan sembahyang, pergi ke mana pun ia mau, mengencingi pikap berisi buah-buahan, dan kemudian bersama teman-temannya mengajak bocah saleh Jamal ngebir dan nonton bokep. Kisah yang sederhana, tetapi dirajut dengan apik.

Bagi saya, Sato Reang merupakan sebuah alegori Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto. Semua gerak-gerik kita selama 32 tahun dikontrol olehnya. Setelah reformasi yang terjadi lebih dari dua dekade lalu, bayang-bayang Soeharto dan antek-anteknya masih hidup. Sama seperti Sato Reang setelah ayahnya meninggal ia masih dihantui semua ketukan di pintu yang membangunkannya untuk sembahyang. Ia tidak lupa suara nyit akibat gesekan golok dengan bola ungu. Ia tidak lupa bagaimana ayahnya melenyapkan boneka monyet dengan api.

Meski demikian, Sato Reang jauh lebih beruntung karena sang ayah tidak akan pernah kembali. Sebaliknya dalam kasus Indonesia, setelah Seoharto lenyap masih muncul ”ayah-ayah” baru yang jauh lebih maruk. Orang dewasa (kekuasaan) memang tidak mau melihat bocah-bocah (rakyat) senang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun