PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH KOPERASI YANG DI NYATAKAN PAILIT DITINJAU DARI UU PERKOPERASI Jo UU KEPAILITAN
Rahayu Hartini, Conny Nurlita
Unversitas Muhammadiyah Malang. E-mail : Â Hartini@umm.com,
Unversitas Muhammadiyah Malang. E-mail : chonnynurlita@gamil.com
Abstrak
Koperasi, sebagai entitas hukum yang beroperasi berdasarkan asas kekeluargaan, menjalankan fungsi ekonomi dengan mempertimbangkan aspek keuntungan dan kerugian. Cakupan operasionalnya, terutama dalam sektor simpan pinjam, sangat krusial bagi masyarakat di daerah terpencil yang mengalami keterbatasan akses terhadap lembaga perbankan. Pailit, didefinisikan sebagai ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajiban utang, menjadi isu hukum yang signifikan dan dikelola oleh Pengadilan Niaga. Perlindungan hukum untuk anggota koperasi yang menghadapi pailit diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian, yang menetapkan bahwa aset koperasi harus dialokasikan terlebih dahulu untuk melunasi utang sebelum disisihkan untuk simpanan anggota. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pedoman terkait prioritas dalam penyelesaian utang, di mana asas kepastian hukum berkontribusi pada perlindungan anggota koperasi. Proses pailit yang mengarah pada pembubaran koperasi memerlukan pengaturan lebih lanjut terkait prosedur dan wewenang pengajuan, sebaiknya melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Pendekatan ini penting untuk menjaga martabat koperasi dalam konteks masyarakat serta memastikan keadilan sosial. Proses penyelesaian pailit, yang melibatkan Tim Penyelesaian, berdampak pada baik debitor maupun kreditor, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis untuk meminimalkan kerugian dan mendukung kemajuan ekonomi.
Kata Kunci : Kepailitan, Perlindungan nasabah koperasi
1.PENDAHULUAN
Negara Indonesia memilik banyak sekali badan hukum yang telah berdiri di berbagai daerah. Badan hukum ini berfungsi sebagai subjek hukum, yang mendukung hak dan kewajiban. Ini menunjukkan bahwa badan hukum memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum demi mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pengurus (organisasi badan hukum tersebut), untuk kepentingan kolektif anggotanya. Salah satu badan hukum yang falimiar di kalangan masyarakat yakni Koperasi.
Koperasi merupakan entitas bisnis yang terdiri dari individu atau badan hukum yang beroperasi dengan prinsip-prinsip koperasi. Koperasi juga berfungsi sebagai gerakan ekonomi masyarakat yang berlandaskan asas kekeluargaan. Pengertian tersebut tertera dalam Pasal 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Istilah "koperasi" berasal dari kata "Co-Operative," di mana "Co" berarti bersama dan "Operative" berarti bekerja atau beroperasi. Oleh karena itu, secara harfiah, koperasi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kerjasama. Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 mengenai Perkoperasian, Pasal 21 menggarisbawahi bahwa struktur organisasi suatu koperasi mencakup rapat anggota, pengurus, dan pengawas. Keberadaan elemen-elemen organisasi tersebut sangat penting dalam manajemen koperasi. Rapat anggota memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pengurus. Akan tetapi, sebelum disebutkan sebagai sebuah badan hukum, pihak pendiri koperasi perlu untuk mengajukan pengesahan terlebih dahulu. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Nomor 123/Kep/M.KUKM/X/2004, proses pengesahan Akta Pendirian Koperasi dilaksanakan oleh Kepala Dinas Pelayanan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah apabila anggota koperasi mencakup lebih dari satu Kabupaten atau Kota dalam satu wilayah. Permohonan untuk pengesahan Akta Pendirian Koperasi wajib disampaikan dalam bentuk tertulis, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, meskipun tidak ada keharusan untuk menyusunnya dalam format akta otentik.[ Anugrah, M. (2013). Tinjauan Hukum Pendirian Badan Hukum Koperasi (Doctoral dissertation, Tadulako University).] Untuk memastikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berencana mendirikan koperasi, disarankan agar mereka meminta bantuan notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi untuk menyusun akta tersebut.
Akan tetapi, tidak dipungkiri juga meskipun koperasi-koperasi yang didirikan menjadi badan hukum yang resmi ini terhindar dari situasi pailit. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut "UU Kepailitan & PKPU"), kepailitan didefinisikan sebagai tindakan sita umum yang meliputi seluruh harta kekayaan Debitor Pailit, di mana pengelolaan dan penyelesaian kepailitan tersebut dilakukan oleh seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, muncul beberapa pertanyaan yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah koperasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen? Kedua, apa dampak yang ditimbulkan oleh situasi koperasi yang pailit terhadap para nasabahnya?