Sumber gambar: anneahira.com
***
Saat itu senja memerah di kaki langit kampung halamanku, Kuningan. Seraut wajah ayu, manis merekah di atasnya, sekejap dan kemudian lalu dari pandanganku. Kali ke dua aku menyapa senja di Kuningan setelah dua bulan lebaran terlewati. Masih sama indahnya. Bau tanah lembab mesra menyapu penciumanku.
Aku yang berbeda saat itu, gemuruh di dadaku tak kunjung reda sejak aku bertemu Nadira. Gadis itu sudah dua tahun yang lalu menamatkan sekolahnya, SMA. Cantik. Bening. Polos. Dia seperti kuncup mawar putih dan akan mekar bersamaku. Aku masih tidak menyangka. Bayi perempuan mungil itu sudah tumbuh besar dan begitu indah.
Aku masih ingat 20 tahun yang lalu, saat aku berumur 14 tahun. Bayi perempuan kecil tetanggaku yang selalu dijemur saat matahari pagi menyapa riang. Bayi itu ditelungkupkan di pangkuan Ibunya, punggung dan kepalanya yang rentan dipeluk matahari.
‘Namanya siapa Budhe?’ tanyaku sambil menggenggam lembut tangan mungilnya.
‘Nadira, Aa... Nama dedek Nadira’
‘Nadira...’
-
Aku pernah punya cinta yang kuyakin akan berakhir indah. Aku cinta, dia cinta. Menjalin hubungan hampir lima tahun lamanya. Susah sedih bersamanya. Kupikir dialah jodohku, perempuan pertama dan terakhir yang akan kukenalkan pada kedua orang tuaku.
Sudah begitu yakin.
Dan entah ada angin apa. Dia memutuskan hubungan yang sudah kami bangun, dia belum siap katanya. Entahlah. Perempuan memang makhluk yang kompleks.
Aku tak bisa memaksa, ya aku tak punya kuasa untuk itu. Sarah kulepaskan. Tinggallah aku dengan segala perasaan yang berkecamuk di dada.
Aku kembali melajang untuk waktu yang cukup lama, hampir empat tahun. Keluargaku cukup khawatir tentang itu. Apalagi Ibu yang selalu menanyakan, ‘calon mantu Ibu kapan dikenalin?’
-
Hari terakhir puasa Ibu meneleponku untuk pulang. Katanya ada yang penting, aku harus pulang. Padahal aku sudah mantap akan merayakan lebaran seorang diri.
Malam itu juga aku berangkat. Kali ini tanpa membawa oleh-oleh untuk kedua adik perempuanku.
Sepanjang perjalanan aku mengira-ngira hal penting apa yang memaksa aku harus pulang. Kalau juga masih tentang perempuan lebih baik nggak usah pulang untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku sudah capek dengan semua itu.
Mereka pikir gampang?
-
Semua begitu sibuk. Beberapa toples kue kering disiapkan dan dibungkus rapi. Ketupat, semur ayam yang baru saja di masak Ibu pun ikut dibungkus. Aku baru saja bangun saat Ibu mengetuk pintu kamarku. ‘Aa siap-siap ya, kita mau ke rumah Budhe Diah’
Apalagi ini?
Aku mengenakan baju koko yang sudah disiapkan oleh Ibu. Pas. Sepatuku juga bersih dan mengkilat. Semuanya sudah siap rupanya, yang entah untuk apa aku tak tahu.
-
Aku menatap gadis berjilbab biru yang sedari tadi menundukkan kepalanya. Senyumnya seperti pelangi. Cantik sekali. Belum selesai aku menikmati makhluk indah dihadapanku, aku dikejutkan oleh perkataan Budhe Diah.
‘Nadira, itu Aa-nya didiemin ajah, sering gendong kamu waktu bayi lho’
Aku terkejut. Nadira... Nadira bayi perempuan kecil mungil yang setiap pagi dijemur itu?
‘Benar kamu Nadira?’ Tanyaku dengan rasa kagum.
‘Iya, Aa’
-
Sepulang dari rumah Budhe Diah. Aku langsung masuk kamar. Aku ingin menutup telinga dan mataku hingga aku benar-benar bisa mendengar jelas ledakan-ledakan yang sejak tadi samar-samar memenuhi pendengaranku.
Nadira...
Hingga saat aku kembali ke Bandung nama dan wajah itu masih teringat jelas. Setiap detik, hanya dia, Nadira.
-
Ibu selalu tiga langkah di depanku dalam urusan perempuan. Budhe Diah setuju. Nadira bilang iya. Ibu dan Bapak sangat setuju.
Dan aku pun pulang dengan sejuta rasa yang campur aduk. Aku tak tahu ini rasa apa. Sungguh. Tapi aku merasa semua ini akan berakhir indah.
Aku pulang keesokan harinya setelah mendapat telepon dari Ibu.
-
Di teras rumah Nadira, aku duduk gelisah menatap wajah ayu itu. Aku penasaran kenapa dia mau menerima lamaran Ayah dan Ibu untuk menjadi istriku. Sementara aku dan dia baru bertemu lagi setelah 10 tahun. Bukannya aku tidak bersyukur diberi kemudahan oleh Tuhan. Aku hanya ingin tahu.
‘Nadira kenapa mau jadi istri Aa?’ tanyaku. Senyum seindah pelangi itu kembali merekah. Dia memandangku yakin.
‘Nadira mau menikah dengan laki-laki pilihan Ayah dan Ibu’
‘Walaupun Nadira tidak cinta??’
‘Begitu Ibu dan Ayah memilihkan untuk Nadira, Nadira akan mencintai laki-laki itu.’
Aku terpana. Aku jatuh cinta.
Nadira...
***
(Tulisan iseng menunggu jam makan siang, ^_^ )