Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Menguntai Sendu

25 Juli 2014   21:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:14 98 6

Indonesia sedang berpesta. Pesta demokrasi, pesta politik, pesta memilih, dan pesta unjuk gigi. Sejauh mataku memandang, orang-orang berkerumun, berbincang-bincang, berapi-api dengan kelingking mengacung atau jari telunjuk dan tengah yang di dekatkan ke wajah, lalu mengambil ponsel, dan klik! Bagikan ke seluruh dunia. Wajah-wajah pemenang yang telah dengan sukses menggunakan haknya, yang dengan begitu percayanya satu suaranya mampu mengubah Indonesia.

Mereka begitu percaya, begitu antusias, begitu peduli. Kulihat kedua tanganku, putih bersih.

Pria di depanku sudah meluncur dengan taksi biru. Kini giliranku, taksi itu berhenti dengan pintu tepat di depanku. Aku meluncur. Kubuka agenda dan kudapati jadwal yang begitu longgar, lebih tepatnya tidak ada kegiatan untuk hari ini. Samasekali tidak ada. Kubuang pandanganku.

Supir taksi yang masih muda di depanku, beberapa kali melirik ke arahku dari spion. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tanpa kupinta dia menunjukkan kelingkingnya. Ya, aku bisa melihatnya. Dia melihatku lagi dengan alis yang terangkat. Aku tersenyum santai mengangkat ke dua tanganku. Dia menatapku kasihan. Aku mengangguk lagi.

Hari ini sepertinya orang-orang jadi baik. Supir tadi bersikeras mengembalikan ongkos taksiku yang lebih dua ribu rupiah. Lalu, tak jauh dari depan kontrakanku beberapa orang sedang membagi-bagikan kurma dan air putih. Aku menolak tapi mereka memaksa. Akhirnya kuterima dan langsung kumakan pada saat itu juga. Mereka menegurku, katanya belum waktunya. Kutanya kepada mereka, memangnya menunggu waktu apa? Mereka membiarkanku memakan kurma itu tapi di belakangku mereka mengataiku.

Kontrakan itu terlihat menyedihkan. Semakin mengerikan saat aku sudah berada di dalamnya. Semuanya masih sama saat terakhir kali kutinggalkan.

-

Kontrakanku ini memiliki banyak jendela. Kunyalakan lampu dan kubuka lebar-lebar semua jendela. Biar semua cerita, biar semua bahagia, dan duka yang kutinggalkan di kontrakan ini keluar dan menemukan jalannya sendiri untuk berakhir seperti apa.

Aku mulai merapikan sisa-sisa kepanikan yang kutinggalkan dua bulan kemarin. Pecahan gelas, jejak kakiku yang berdarah, selendang Ibu yang terlepas saat aku menggendongnya dalam kepanikan menuju jalanan, berteriak histeris pada setiap mobil yang lewat, memohon kerendahan hatinya mengantarkanku dan perempuan dalam gendonganku ke rumah sakit terdekat. Pada saat itu, tak satupun dari mobil-mobil mewah itu berhenti, saat harapanku hampir putus, berhenti angkot biru dengan bodinya yang babak belur, Pak Tua itu langsung membantuku menggotong Ibu ke kursi penumpang.

Ruang depan dan dapur yang pecah berantakan itu satu-persatu mulai kembali seperti seharusnya. Kuseka peluh di wajahku dengan lengan bajuku. Berikutnya kamarku dan kamar Ibu. Tidak memakan waktu lama, baju-baju dan tas yang berserak kini kembali rapi. Seprai dan sarung bantal yang sudah bau tengik kuganti dengan yang baru. Buku-buku, komputer, dan gitar akustik yang kutinggalkan begitu saja, segera kubersihkan dari debu. Hanya tiga puluh menit semua sudah selesai. Kamar Ibu, mungkin tidak malam ini, esok, atau lusa.

Aku kembali ke dapur, sambil menunggu air mendidih aku melihat-liat isi kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan atau di masak cepat.

Segelas kopi hitam dan piring yang berisi 3 sosis panggang dan 2 telur ceplok, kubawa ke ruang depan, kunyalakan tv, dan langsung kumatikan setelah melihat acara hari itu total tentang pemilu yang baru diselenggarakan. Aku menatap sendu pada sosis dan telur di depanku, menyantapnya dalam diam, sementara telingaku menangkap setiap bunyi dari engsel jendela yang berderit menyayat hati.

Aku baru saja menghabiskan satu sosis, saat angin membanting jendela. Aku bangkit menutup semua jendela, lalu ke dapur menenggak susu langsung dari kemasannya sampai aku merasa kenyang.

Kumatikan semua lampu dan aku masuk ke kamarku. Membaringkan badan dan mengingat-ingat semuanya sekali lagi.

-

Aku merasa semua penuh dengan ketergesaan, tidak hanya aku. Sekelilingku, semua tergesa-tergesa mengejar penghidupan, menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut bulan puasa, memastikan suara cukup lantang untuk pemilu. Aku berlari menyeberangi jalan, Pak Tun tukang bengkel melambaikan tangannya kepadaku. Motorku sudah selesai diservis.

Saat aku mengeluarkan dompetku, ponsel di kantong kananku bergetar. Cepat-cepat kubayar Pak Tun begitu mengetahui Ibu yang menelepon. Aku mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol dengan Ibu. Di bawah pohon tak jauh dari bengkel Pak Tun, aku berdiri dengan kaki yang tak bisa diam. Cemas.

“Ibu pengen puasa dan lebaran di tempatmu, To.” suara Ibu terdengar lambat dan hati-hati.

Akhirnya, hampir dua tahun setelah kepergian Ayah, Ibu mau meninggalkan rumah itu. Aku pernah membujuknya untuk tinggal bersamaku di Jakarta. Ibu menolak halus, katanya roh Bapak masih pengen ditemani, dan Ibu tidak ingin merepotkan aku.

Entah, apakah semua orangtua di dunia ini tak mau merepotkan anaknya. Padahal kalau dipikir-pikir perjuangan mereka untuk menghidupi dan membekali anaknya dengan pendidikan yang baik itu tidak main-main. Dan ketika saat si anak berniat untuk membalas jasa dan kasih mereka, yang walaupun itu tidak seberapa dibanding dengan perjuangan mereka, mereka selalu menolak dengan alasan tidak mau merepotkan.  Lalu kapan lagi, aku menunjukkan sama Ibu kalau aku bisa sampai diposisi ini karena perjuangannya.

Mataku berkaca-kaca saat mengiyakan permintaan Ibu, inilah keinginanku yang sebenarnya. Tinggal berdua bersama Ibu, menemani Ibu menghabiskan masa tuanya. Kami hanya berdua sekarang sepeninggal Bapak.

-

Jumat, aku cuti dari kantor. Aku harus menjemput Ibu dari Surabaya. Aku sudah memesankan kepada Ibu, untuk menungguku agar aku bisa mengepak barang-barangnya dan merapikan rumah untuk ditinggal entah beberapa lama. Jalanan ke rumah semakin membuatku sendu. Mengingat jalanan ini selalu ditempuh Ayah naik sepeda onthelnya tiap pagi, menjual kangkung dan sayuran lainnya ke pasar pagi. Ibu yang tak pernah mengeluh menggendong botol-botol jamunya. Dan aku yang selalu menunggu mereka di rumah kayu kami.

Aku berhenti 500 meter sebelum rumah. Aku ingin bernostalgia sebentar. Pohon-pohon dan semak-semak di pinggir jalan sudah berganti dengan trotoar dan jalanan beraspal, rumah-rumah beton berdiri gagah dan pongah menghadap jalanan. Tapi satu yang tidak berubah, rumah kayu kami dengan halaman luas yang penuh dengan tanaman bumbu dapur. Tak sekalipun terbersit di pikiranku untuk mengubahnya. Ibu tidak menjual hasil ladang kecilnya itu. Ibu memperbolehkan siapa saja untuk mengambilnya, tanpa perlu membayarnya. Tapi para tetangga juga enak hati, terkadang mereka menukarnya dengan tahu, tempe, atau beberapa ekor ikan.

Ladang itu saat ini ditumbuhi dengan cabe setan, bayam liar, pepaya di sudut halaman, dan kangkung di polybag yang berjejer di bawah pohon jambu air.

Aroma sup ayam dari rumah memanggilku, aku segera bergegas memasuki rumah dan mendapati Ibu yang sibuk dengan makanan kesukaanku, tahu-tempe goreng, cah kangkung, ikan asin, dan sambal terasi. Ah Ibu...

Ibu menghampiriku, memelukku, mengusap kepalaku, dan meletakkan kedua tangan keriputnya di wajahku. Mata Ibu berkaca-kaca, begitu juga dengan mataku. Ibu membimbingku ke ruang depan. Kami duduk berhadap-hadapan dan mulai bercerita ini-itu.

Selepas makan siang yang nikmat Ibu mengeluarkan potongan melon dari kulkas. Buah kesukaanku.

“Bu Nia ada syukuran besok, butuh banyak cabe, mau bikin sambal. Mereka panen 2 pohon cabe Ibu yang kebetulan lagi rame buahnya. Tadinya mau ditukar dengan semur ayam...” cerita Ibu sambil menyodorkan potongan melon itu kehadapanku. Melonnya harum dan manis.

Semua sudah rapi. Pakaian dan barang-barang Ibu sudah rapi dan siap dibawa. Aku hanya bisa tersenyum saja mengangkat koper itu ke depan sementara Ibu memastikan semua alat listrik sudah mati.

Untuk terakhir kalinya Ibu memasuki semua ruangan di rumah, membaca doa supaya semua baik-baik saja saat ditinggalkan. Aku mengunci rumah.

“Ibu sudah pesankan tetangga, kalau-kalau mereka butuh sayuran atau apapun yang ada di halaman itu mereka boleh ambil. Sayang kalau sampai terbuang begitu saja.”

Kami menaiki taksi menuju Juanda. Dan di pesawat, Ibu menikmati penerbangan pertamanya, tangan keriputnya tak sekalipun lepas dari genggamanku.

-

Sejak kehadiran Ibu di rumah, aku merasa ruang kosong di kisi-kisi hatiku seketika terisi penuh oleh kebahagiaan dan kebersamaan yang berkualitas. Rasanya seperti kembali kemasa kecil. Pergi kerja pamitan, yang biasanya pintu aku tutup dengan kasar dan terburu-buru menyalakan motor, dan tidak sarapan. Kini aku berangkat dengan restu, sudah sarapan, dibekali makan siang, dan sebuah lambaian tangan kepada Ibu yang berdiri di pintu. Pulang kerja biasanya mendapati rumah gelap gulita dan dilanda kebingungan makan malam dengan apa. Kini, aku pulang, rumah terang benderang, dan Ibu yang selalu siap dengan makan malam sederhana yang penuh cinta.

Foto keluarga yang Ibu bawa, di letakkan di meja kerjaku, jadi setiap kali aku merasa tidak yakin dengan diriku dan dengan apa yang sedang kukerjakan, melihat foto itu aku menjadi yakin dan kembali bersemangat.

Seringkali Ibu bertanya, “sendiri To?” saat aku pulang kerja. Aku hanya mengangguk saja sambil cengengesan. Aku tahu maksud pertanyaan Ibu, aku juga mulai memikirkan ke arah sana. Hanya saja aku belum menemukan yang tepat untukku, seseorang yang akan tua bersamaku dengan tiga orang anak. Aku ingin wanita yang seperti Ibu. Dan mencarinya sangat sulit.

Puasa pertama kami berjalan lancar. Berdua menyiapkan sahur dan untuk berbuka, aku suka membawakan bolu keju yang lembut untuk Ibu.

Dan dipertengahan, kesehatan Ibu menurun drastis. Ibu tak lagi mampu melakukan banyak hal seperti biasanya. Kata dokter wajar, Ibu sudah tua. Aku merasakan cemas yang luar biasa. Jangan sekarang ya Tuhan. Ibu tersenyum saat aku menghampirinya, ditanganku sepelastik obat Ibu baru saja kutebus.

Kini semua berbalik. Hari-hariku dipenuhi kegelisahaan yang tak terkatakan. Ibu yang semakin lemah tapi bersikeras untuk berpuasa. Aku bisa saja meminta cuti untuk merawat Ibu, tapi Ibu tidak mengizinkan. Jadi aku setiap jam makan siang pulang untuk memastikan semua baik-baik saja.

Malam itu Aku dan Ibu duduk di teras sambil berbincang-bincang.

“To, Ibu akan pergi menjumpai Bapakmu,”

Jantungku berhenti berdetak mendengarnya. Aku tidak menjawab tapi airmataku sudah berjatuhan.

“Toh memang sudah waktunya,  Ibu nggak bisa lagi meminta perpanjangan waktu sama Tuhan. Tapi Ibu khawatir sama kamu To, kamu akan ditemani siapa kalau Ibu pergi?”

Kami berdua terisak. Aku yang duduk di lantai memeluk kedua kaki Ibu. Bahuku terguncang.

“Dulu, Ibu meminta supaya kamu punya saudara, tidak usah banyak-banyak, satu lagi saja. Tapi Tuhan berkata lain To, Tuhan cuma kasih kamu....”

-

Esoknya aku cuti. Aku ingin menemani Ibu seharian.

Aku hanya pamit sebentar membeli makanan untuk  berbuka, aku meninggalkan Ibu sedang tiduran di sofa sambil menonton televisi. Dan saat aku kembali, kakiku disambut pecahan gelas, dan Ibu tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Sedetik kemudian aku sudah berlari ke jalanan menggendong Ibu, sembari mencoba menghentikan mobil yang lewat.

Hari ketiga di rumah sakit, kerabat mulai berdatangan dan Ibu pergi meninggalkanku. Selamanya.

Airmataku kembali mengalir deras mengingat semua itu.

-

Satu-satunya hal yang menenangkanku lebaran ini adalah jalan yang sepi dan jauh dari hiruk pikuk kesibukan. Semua orang merayakan hari kemenangan di rumah bersama keluarga tercinta.

Seperti biasa, aku berjalan kaki menuju rumah kayu itu. Aku juga pengen pulang kampung, menghirup dalam-dalam kenangan yang kami bangun di rumah kecil itu.

Langkahku terhenti mendapati gadis bercelana training merah dengan kaos putih longgar, rambutnya diikat tinggi bak ekor kuda, keringat membanjiri wajah dan lehernya. Dia menatap rumah di depannya dengan pandangan tak biasa.

Aku berdiri di sampingnya. Dia menatapku sejenak, tersenyum, lalu kembali menatap rumah di depannya.

“Bagaimana bisa, diantara bangunan-bangunan kokoh di sepanjang jalan ini, ada rumah kayu yang tak kalah kokohnya, dengan halaman luas penuh dengan tanaman sayuran dan bumbu dapur lainnya. Keren!” katanya cepat, dia setengah berteriak saat mengatakan ‘keren’.

Memang sejak kepergian Ibu, Mang Cecep, penjual sapu keliling minta izin untuk mengurus tanaman peninggalan Ibu, saat waktunya panen dia bisa menjualnya, lumayan buat tambahan.

“Aku punya mimpi punya rumah yang seperti ini. Kecil, sederhana, halamannya luas, suami dan tiga anak untuk kucintai sepanjang umurku, dan seekor kucing atau anjing. Eh... Kok...” dia berhenti, menatapku sebentar, wajahnya bersemu. Aku tertawa, sambil menyalami gadis itu.

“Anto,”

Dia menyambutnya, “Christy, ehmm aku banyak ngomong yak?  Hahaha!”

Aku menemukannya, dia orangnya. Gak perlu waktu lama, aku bisa merasakannya. Aku nggak sabar bercerita tentang rumah kayu di depannya, tentangku, dan tentang cinta yang kucari-cari selama separuh umurku. Juga perasaanku pertama kali menatap indah matanya.  Tapi, Tuhan, kenapa mesti sesulit ini? Pikirku saat menyadari kalungnya berbentuk salib.

***

Sumber gambar: http://myoyeah.com/wp-content/uploads/2012/06/yeodeol2.jpg

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun