Matahari menari-nari diiringi debu jalanan yang berterbangan. Hembusan angin merampok titik-titik air yang membasahi wajah. Di jalan, kendaraan berbaris rapi dengan mesin yang masih menyala membagikan gas buang secara merata kepada pengendara lainnya. Agustus meradang.
Kipas angin seukuran piring bekerja keras menghalau panas dan gerah dari dua sejoli yang sedang tiduran pada kasur busa yang sudah melengkung dan tipis. Si Pria, kurus dan kering duduk bersandar pada dinding kamar yang penuh dengan poster SID. Sebatang rokok terselip di antara kedua bibirnya yang menghitam. Si Gadis, tidur menyamping menghadap tembok. Matanya menatap kosong dan menerawang.
“Yang, gue udah 2 bulan nggak em.”
“Trus, masalah buat gue?”
“Kampret lu ya!” Si Gadis melempar bantal gepeng ke arah Si Pria. Mata gadis itu membeliak dan memerah. Wajah belianya kini lebih berisi dan bersinar memikat. Lengannya gemuk menggoda. Dan payudaranya yang ranum mekar dan sedikit menyembul dari balik tanktop ketat yang dipakainya siang itu.
“Udah diperiksa?”
“Belumlah, takut gue.”
Keduanya terdiam. Kipas sepertinya mulai letih, terdengar bunyi kretek kretek. Si Gadis membuka bajunya hingga batas dada. Memperlihatkan perutnya yang menonjol kepada Si Pria yang memandang lekat.
“Lu ngerasa gimana?”
“Sering mual, kemarin gue abis muntah-muntah.”
“Iya kali, lu hamil.”
“Gue ga mau hamil, Yang.”
Si Gadis merengut dan menunduk menatap perutnya yang tak lagi rata. Matanya memerah. Sebelum bendungan penuh dan siap jebol, si Pria menarik tangan Si Gadis.
“Beli testpack yuk ke alpa,”
-
Vespa kuning dengan cat terkelupas di sana sini membelah perkampungan kumuh di pinggiran ibukota. Ibu-ibu yang mendengar bunyi knalpot vespa kuning itu memaki, ada yang berteriak. Tak dipungkiri kedahsyatan suara knalpot vespa kuning itu, bahkan dari kampung sebelah terdengar cukup jelas.
Vespa kuning itu satu-satunya harta Si Pria dan sekaligus saksi bisu perjalanan cintanya bersama Si Gadis. Vespa itu diparkir asal di antara kendaraan lainya yang berjajar rapi di lahan parkir minimarket yang menjamur di nusantara.
Mereka berdiri di samping antrian pengunjung dengan belanjaan yang bermacam-macam, sedikit atau banyak, hanya odol, atau pisau cukur. Salah satu petugas yang berjaga mengarahkan mereka untuk ikut antrian.
Hingga tiba giliran mereka, dengan sedikit berbisik Si Pria menanyakan benda yang menjadi tujuan mereka ikut mengantri.
Kasir menatap menyelidik ke arah si Pria, dilanjutkan kepada gadis di sampingnya. Dari wajah turun ke perut. Si Gadis salah tingkah, dia membuang pandangannya ke luar. Kasir mengerti dan mengambil barang yang dimaksud di rak di belakangnya.
“Tiga ribu, Mas.”
Si Pria mengeluarkan selembar lima ribuan dari saku celananya yang sudah kumal. Menerima barang dan memberikan kepada si Gadis yang menunggu setia di sampingnya. Mereka bergandengan tangan keluar dari minimarket itu.
“Kalo beneran hamil gimana Yang?”
“Ya hamil...”
“Maksud gue, lu mau plihara itu anak?”
“Tau ah! Gara-gara elu nih! Ayo pulang!”
-
Ayam tetangga baru saja berkokok, Si Gadis menyingkirkan lengan Si Pria yang tergeletak di atas perutnya. Pria itu masih lelap oleh pelukan angin pagi yang sejuk. Sebuah karet gelang diambil gadis itu, poninya ditarik kebelakang dan diikat longgar dengan karet gelang itu. Gadis itu bergerak pelan di pagi buta, mengambil akua gelas kosong dari plastik yang berisi sampah di depan kosannya. Dibilas sedikit dan dibawa ke dalam kamar mandi kecil di ujung barisan kosan kumuh itu.
Dua garis merah berdampingan mesra. Pandangan mata gadis itu kosong dan menerawang, tak disadari tangannya meraba perut kecilnya. Di dalam sana, sebuah kehidupan telah berjalan.
Gadis itu terisak sambil sesekali memanggil Ibu yang melahirkannya. Wajah belia itu basah oleh airmata, tangis itu semakin keras saat menatap dua garis merah di tangannya.
-
Si Pria berjalan cepat-cepat dengan menenteng bungkusan plastik yang berisi bubur ayam dan dua bungkusan plastik putih berisi teh manis. Pagi itu dia terbangun oleh rintihan Si Gadis yang memegangi perutnya. Lapar.
Sesampainya di depan kosan Si Gadis tersenyum melihat tentengan plastik hitam yang di bawa si Pria. Dia mengambil bungkusan itu dan makan dengan lahapnya. Si Pria tak mampu berkata-kata, dia hanya memandangi si Gadis dari wajahnya yang manis ke mulutnya yang mengunyah cepat, turun ke payudaranya yang semakin padat dan besar, hingga ke perutnya yang membuncit lucu.
“Gak makan Yang?”
“Makan, tapi kalo lu masih kurang makan aja.”
Si Gadis tersenyum, tangannya yang berjari kurus dan kecil itu merapikan sterofoam tempat bubur ayam yang sudah kosong. Bungkusan teh manis yang diplastik digigit ujungnya dan langsung disedot hingga habis setengah.
“Udah, kenyang kok Yang, makan gih.”
Si Pria nyengir dan meraih bagiannya dari depan gadis itu. Dia menyantap dengan diam. Tak seperti biasanya, penuh dengan celoteh dan ledekan kecil yang membuat pagi ceria dan penuh tawa.
-
Sore yang berawan Si Pria dan Si Gadis duduk diam di atas vespa kuning yang menghadap kali mati hitam pekat dan berbau busuk. Gadis itu tak lagi mengenakan tanktop seperti biasa diganti kaus longgar berwarna hitam.
“Yang, elu mau plihara itu anak?” Si Pria menatap kosong sembarang.
“Ga tau, stres banget gue.”
“Gugurin aja yuk, Yang?” Si Pria menawarkan pilihan itu dengan berbisik dan sangat lirih. Hanya si Gadis dan angin lalulah yang mampu mendengar tawaran itu.
“Gila lu! Tega banget sama anak sendiri!”
“Emang lu siap jadi Ibu? diekorin sama bocah mulu?”
“Heh! Ini anak kita! Yang diekorin bukan cuma gue aja kali, elu juga! Enak amat ngomong!”
“Gue gak siap jadi bapak Yang.”
“Ya harus siap, lu pikir gue siap? Haaa??!”
“Gugurin aja yuk?”
Mata gadis itu memerah dan berair menatap pria ceking di sampingnya. Kepalanya digeleng-gelengkan, tak percaya pria yang setahun tinggal seatap dengannya berbagi suka duka hidup menyuruhnya melakukan pembunuhan yang sadis. Membunuh anak mereka.
“Gue bukan pembunuh Bud.”
Gadis itu turun dari boncengan vespa dan berjalan dengan berurai airmata.Tangannya memegang perutnya. Si Pria Ceking mengejar di belakangnya sambil mendorong vespa kuning.
“Vik, cemen banget sih lu! Gitu doang nangis!”
Si Gadis semakin mempercepat langkahnya. Mata-mata sudah mengarah kepada mereka berdua. Air mata itu belum juga reda. Hingga lambaian tangan gadis itu memberhentikan angkot dan membawanya pulang meninggalkan Si Pria dengan vespa kuningnya yang kesal dan marah.
“Taek lu Vi! Gitu doang marah!!”
-
Malam sudah larut saat Pria kembali ke kosan. Matanya merah dan nafasnya bau sampah. Sempoyongan dia menghambur ke arah Si Gadis yang tertidur pulas. Bulir-bulir keringat di keningnya yang sempit beranak pinak, dan sebagian sudah meluncur membasahi bantal. Kipas angin sudah pensiun ternyata. Mulutnya
“Dari mana aja lu, Bud?”
Si Pria tidak menjawab malah merebahkan diri di pinggiran kasur gepeng itu dan tertidur pulas. Nafasnya yang teratur membuat Si Gadis merasanya nyaman dan ikut membaringkan diri di samping ayah dari anak di perutnya.
-
Langit sore masih oranye saat si Pria berkeliling dengan vespa kuningnya dari satu apotik ke apotik lainnya dengan secarik kertas lusuh di sakunya. Wajahnya berkeringat dan pucat. Pandangan matanya liar dan menaruh rasa curiga pada setiap orang yang menatapnya.
Sudah lima apotik yang dia sambangi untuk sebuah obat yang disarankan teman perempuannya yang bekerja di kafe remang-remang. Hanya sejenis obat untuk menghapus bayang masa depannya diekorin bocah kecil. Tidak mudah dan tidak sembarang.
Penjaga apotik itu menggelengkan kepala dan mengembalikan secarik kertas itu kepada Si Pria. Apotik keenam. Malam menari-nari dengan gelapnya seaakan mengejek Si Pria yang terduduk letih di atas vespa kuning. Tangannya yang besar dengan jemari yang kurus meremas kertas itu menjadi bola kecil dan melemparkan ke tong sampah yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Meleset. Bola kertas itu membentur dinding kemudian menggelinding hingga ke kolong mobil yang sedang parkir.
Vespa kuning itu kembali memperdengarkan suaranya yang buruk.
-
Si Gadis duduk manis di depan kosan menunggu kekasih hatinya itu membeli makan malam. Sejak sore tadi ia duduk di sana. Tangannya kini selalu diletakkan di atas perutnya yang membuncit..
Dari kejauhan terdengar suara yang sudah hapal mati di telinganya, pekikan si vespa kuning. Di ujung gang muncul Si Pria memamerkan giginya yang kuning. Di stang vespa menggantung bungkusan hitam yang sudah ditunggu-tunggu Si Gadis.
“Lama ya?” tanya Si Pria sambil memarkir vespanya di depan kosan. Si Gadis tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Bungkusan makanan itu diberikan ke pada Si Gadis dan berdua mereka memasuki kosan kumuh itu. Bersantap malam berdua. Kepanasan berdua.
“Yang, benerin kipas kapan?”
“Entarlah, belum ada duit gue. Makan aja udah sukur Yang,”
Makan malam kali itu adalah paling enak yang dirasakan Si Gadis. Ayam goreng balado. Sebungkus nasi habis tak bersisa. Ayam goreng pun tinggal tulang-belulang yang sudah retak digilas geraham Si Gadis. Sepelastik es teh tanpa gula pun tandas disedotnya.
Puas dengan makan malam yang nikmat sepasang sejoli itu duduk bersandar pada tembok yang masih menyisakan hangatnya panas matahari. Si Gadis memejamkan matanya, keringat menetes lembut dari kening hingga tengkuknya. Si Pria mengeluarkan obat yang dibelinya dari warung depan. Semuanya di berikan kepada Si Gadis Belia. Enam tablet. Dengan bujukan, untuk mengurangi sakit dan mual-mual dipagi hari, Si Gadis meminum keenam tablet itu, tiga sekali minum.
-
Tangan gadis itu bergetar hebat saat mencoba meraih botol air minum tak jauh darinya yang berbaring tak berdaya. Perutnya nyeri tak tertahankan.Sakit melilit membuat kepayahan bernafas. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya. Matanya lemah dan sayu. Bibirnya yang mungil membiru dan kering kerontang.
Susah payah dia membuka botol air minum itu. Beberapa kali gagal menuangkan ke dalam mulutnya, hingga membasahi kasur gepeng mereka.
Si Gadis Belia merintih memegangi perutnya yang seakan akan terbakar. Sakit hingga ke ulu hati. Air mata meluncur perlahan pada mata yang mulai redup itu hingga akhirnya tertutup.
....
Si Pria berdiri menempel pada dinding luar kosan mereka. Satu-satunya orang yang mendengar rintih kesakitan Si Gadis malam itu. Matanya menyala oleh rasa takut. Lututnya bergetar hebat menopang rasa bersalah.
-
Matahari merangkak dari peraduaannya.
Si Pria menatap matahari yang masuk dari sela-sela jendela. Sinarnya membentuk garis-garis di tubuh Si Gadis yang melawan maut semalam. Dada gadis itu naik turun pelan dan lemah.
Sepasang kelopak mata itu terbuka. Pandangannya lemah dan penuh duka. Dia tak menyadari Si Pria yang menungguinya sejak tak sadarkan diri semalam. Pria itu meratapinya yang diam dan pucat.
“Maafin gue Vik”
Si Gadis Belia tak menjawab, matanya berkaca-kaca membentuk bendungan, dan luruh dalam diam. Tangannya meraba perutnya pelan.
“Lu mau ngebunuh gue?”
Si Pria tak mampu berkata-kata.
-
Si Gadis diam sejenak mengamati sekelilingnya, menyerap semua kenangan susah, sedih, dan bahagia yang didapatnya setahun penuh di kamar kosan kumuh itu. Tak banyak barang-barang yang harus dibawa, hanya beberapa potong pakaian yang dimasukkan ke dalam ransel kecil. Ransel yang sama saat dia kabur dari kampungnya. Hanya itu, dia dan calon bayinya meninggalkan kosan kumuh tempat dia hampir meregang nyawa seorang diri.
Gadis itu melangkah mantap meninggalkan semuanya tanpa memedulikan bujukan Si Pria untuk tetap tinggal.
-
Sumber gambar:
Gambar 1 http://www.macleans.ca/wp-content/uploads/2013/04/MAC02_PREGNANTMERGEwww.jpg
Gambar 2 http://images.politico.com/global/news/101213_abortion_sign_ap_328.jpg
Gambar 3 http://fc05.deviantart.net/fs43/f/2009/117/b/2/Creation_by_devrez.png