Setiap dua minggu sekali, biasanya saya selalu membeli bahan pangan di pasar ataupun warung tradisional dekat daerah kos saya, dan saya cukup dekat dengan penjual-penjual di sana. Beberapa hari yang lalu, pedagang-pedagang sekitar kos saya lama tidak berjualan, akhirnya saya tanyakan mengapa demikian dan akhirnya salah satu ibu pedagang itu menjawab bahwa dagangannya semakin sepi akibat banyaknya supermarket modern yang buka, juga untuk menyewa tempat itu harus bayar, terlebih lagi adanya penataan pasar yang diusulkan membuat proses pemenuhan kebutuhan para pedagang tradisional terhambat. Saya melihat realita sosial ini merupakan kesenjangan yang hadir diantara pasar modern dan tradisional, dimana masyarakat saat ini lebih menyukai berbelanja di pasar modern karena fasilitas yang ada membuat pengunjung nyaman berlama-lama di dalamnya, barang yang dijual lebih bervariasi, toko lebih rapi dan teratur, serta menyediakan sistem pembayaran yang fleksibel walaupun harga yang ditawarkan di sana lebih mahal ketimbang pasar tradisional. Di sisi lain, di pasar tradisional memiliki keterbatasan seperti tempat yang sempit, kurang bersih, namun di dalamnya terdapat interaksi langsung yang terjadi secara hangat antara pembeli dan penjual, harga relatif lebih murah dan bisa ditawar. Dari perbedaan antara keduanya, saya melihat kesenjangan ekonomi secara jelas hadir dimana para pedagang kecil mungkin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup karena adanya aturan otoritas yang mengikat, dan adanya persaingan yang tidak masuk akal antara pedagang kecil dan pengusaha besar. Dan hal itu sesuai dengan teori konflik Ralf Dahrendorf, karena antara otoritas pasar yang ada dan persaingan secara tidak setara akan menimbulkan konflik.
KEMBALI KE ARTIKEL