Lelaki setengah baya tersebut, masih ingat betul kalau 2 hari yang lalu, dirinya baru saja menyerahkan puluhan juta rupiah kepada lelaki yang tengah duduk diampingnya. “ tenang saja, bos ! pokoknya dengan Rp.50000 perkepala saya yakin suara 200 orang bukan masalah !” kata pemuda itu, dalam ingatnnya. Pada saat anggota KPPS menyebut namanya dan anggota KPPS yang lain menuliskan angka di kertas perhitungan suara, ada secercah harapan yang terpancar dimata kedua orang tersebut. Namun, itu hanya sesaat, karena sampai acara perhitungan suara selesai, anggota KPPS tidak pernah lagi menyebut namanya.
Lelaki setengah baya tersebut bangkit dari tempat duduknya dengan perasaan lemas. Ia berjalan kearah mobilnya diikuti pemuda tersebut.
“ Mana 200 suara yang kamu janjikan !” katanya dengan emosi tertahan.
“ Maaf Bos, saya juga heran kenapa bias seperti ini, padahal masyarakt yang saya beri berjanji tidak akan memilih yang lain !” jawab pemuda itu dengan wajah tertunduk.
“ Pokoknya, saya tidak mau tahu, kamu harus kembalikan uang saya !”
“ Tapi… Boss !”
Lelaki setenga baya tersebut langsung naik keatas mobilnya dan meninggalkan pemuda itu sendiri dalam kebingungan. Ia, menyandarkan kepalanya di jok belakang. Kini harapannya untuk menjadi anggota Dewan yang Terhormat kandas sudah, dan harapan itu malah meninggalkan utang ratusan juta rupiah. Lalu dimana suara masyakat yang selama ini menyambutnya laksana pahlawan tiap kali ia berkunjung ? Dimana masyarakat yang siap mendukungnya ?
Pertanyaan itu berputar-putar dikepalanya, yang mulai mengalirkan butiran-butiran bening. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab, dan bayangan dirinya mesti membayar kredit di bank, benar-benar telah membuatnya lunglai tanpa tenaga. Impiannya untuk menjadi anggota Dewan yang Terhormat, seketika buyar, impian itu terbang bersama asap rokonya. Kini bayangan dikepalanya berganti ketakutan jika rumah dan mobilnya harus disita oleh bank jika tidak mampu membayar kredit. Sebagai tokoh masyarakat, betapa malunya menerima kenyataan bahwa tetangganya yang hidupnya sederhana ternyata mampu meraih suara terbanyak tanpa harus mengeluarkan biaya sosialisasi sebanyak dirinya. Matanya terpejam tapi tidak tidur, jantung berdebar keras. Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia harus kalah. Berkali-kali bibirnya mengeluarkan makian. Dan sebelum tidak sadarkan diri sang sopir hanya bisa mendengar kalimat samar-samar kalimat “ aku kapok jadi caleg!”